
Tinarin adalah sebuah desa kecil yang terletak di Kecamatan Gorom Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku. Lokasinya cukup dekat dengan kantor kecamatan yang berada di Desa Miran—hanya sekitar satu kilometer jaraknya.
Di desa ini, ada sosok perempuan luar biasa bernama Liswati Rumodar, atau yang akrab disapa Oma Lis. Perempuan kelahiran tahun 1956 ini, kini berusia 69 tahun. Oma Lis memiliki semangat belajar dan mengabdi untuk desa yang seakan tidak pernah surut.
Oma Lis adalah figur aktif dalam pelbagai kegiatan perencanaan pembangunan desa, pemantauan, serta evaluasi. Ia sangat peduli terhadap peningkatan sumber daya manusia, terutama perempuan. Setiap ada pelatihan atau pertemuan desa, Oma Lis selalu hadir, bahkan sering berada di garis terdepan.
Pelibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan desa, terutama kelompok marginal seperti perempuan, memang menjadi salah satu fokus dari Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT). Mereka yang selama ini terabaikan padahal menjadi objek utama pembangunan mestilah hadir secara utuh dalam proses perencanaan desa. Kehadiran mereka pun mendatangkan perspektif yang lebih menyeluruh dalam melihat potensi dan tantangan di desa.
Waktu itu, ketika proses perencanaan desa pada tahun 2023, Oma Lis dan 35 orang lainnya berkumpul selama tiga hari untuk melakukan pemetaan potensi dan kerentanan di desa mereka sendiri. Lalu merumuskan tujuan dan kegiatan untuk mengembangkan potensi dan menjawab tantangan. Pada perencanaan itulah, peningkatan penghidupan masyarakat melalui pengolahan hasil pertanian seperti sagu, pala hingga pelatihan pengelolaan tanaman hortikultura diusulkan.
Misalnya saat pertemuan di ruangan berukuran 20 meter persegi di Negeri (Desa) Tinarin, dia langsung mengacungkan tangannya. Lalu berujar jika program BangKIT ini sangat membantu masyarakat. Sebab, memberikan pengetahuan yang baru dalam mengolah hasil pertanian.
Setelah diskusi panjang lebar di kantor yang berada di tepi pantai di Negeri Tinarin, Oma Lis langsung mengajak ibu-ibu untuk ke rumahnya. Di sana dia mempraktikkan hasil yang didapatkan dalam pelatihan selama tiga hari.
Pada tahun 2024, ibu empat anak ini mengikuti program pelatihan BangKIT yang diselenggarakan di Desa Arewang, Kecamatan Pulau Gorom. Di sana, ia belajar berbagai hal, mulai dari cara mengolah daging pala menjadi selai, membuat pupuk organik, mengubah sagu menjadi tepung, hingga teknik budidaya tanaman hortikultura.
“Yang katong (kita) baru tahu itu sagu bisa jadi tepung, itu dari pelatihan BangKIT,” ujar Oma Lis ketika ditemui di rumahnya.
Usai mengikuti pelatihan, ilmu yang diperolehnya tidak disimpan sendiri. Oma Lis langsung berbagi pengetahuan kepada ibu-ibu di desanya. Ia tak hanya menjelaskan, tapi juga mengajak mereka mempraktikkan secara langsung, dari cara mengolah tepung sagu hingga membuat berbagai jenis kue.

Berbagi Ilmu Lewat Dapur
Suatu siang, sepuluh perempuan berkumpul di rumah Oma Lis, sebuah rumah berdinding batu berwarna hijau. Lima perempuan di antaranya tengah duduk melingkar di ruang tamu belakang. Sedangkan yang lainnya sibuk di dapur, masing-masing mengambil peran.
Ada yang menyiapkan tepung sagu, ada mengadon, dan ada pula yang menyiapkan bahan pelengkap. Hari itu, mereka hendak membuat kue nastar, bukan dari tepung terigu seperti biasanya, melainkan dari tepung sagu.
Oma Lis menjadi pemandu utama dalam proses tersebut. Ia mengarahkan setiap langkah, mulai dari takaran gula, bahan yang digunakan, hingga teknik mengaduk adonan agar hasilnya sempurna.
“Setelah pelatihan, saya langsung praktikkan. Warga datang lihat dan ikut belajar juga,” katanya sambil tersenyum.
Namun, semangat Oma Lis belum sepenuhnya menular ke seluruh perempuan di Tinarin. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku tahun 2024, jumlah perempuan di Desa Tinarin mencapai 259 jiwa dari total 517 penduduk.
Sayangnya, dari ratusan perempuan tersebut, hanya sekitar sepuluh orang yang aktif belajar bersama Oma Lis.
Setelah adonan nastar siap, ibu-ibu membuat dua jenis bentuk. Pertama, berbentuk bulat dengan pinggiran bergerigi dan selai pala di tengah.
Kedua, berbentuk seperti pastel, dengan isian selai pala yang tersembunyi di dalam. Selanjutnya, nastar itu diletakkan di atas loyang persegi panjang.
Kemudian bagian atas kue diolesi kuning telur dan minyak goreng. Dengan menggunakan kuas kecil agar berkilap, Lalu dimasukkan ke dalam oven.
Menurut Oma Lis, tepung sagu bisa diolah menjadi berbagai jenis kue, baik kering maupun basah. Kue kering seperti nastar, cokocip, dan ulat sagu, sementara kue basahnya bisa berupa brownies.

Ambas, seorang ibu rumah tangga berusia 52 tahun, juga turut belajar dari Oma Lis. Sebelumnya, ia belum pernah mengolah tepung sagu menjadi kue, termasuk untuk konsumsi sendiri. Setelah mengikuti pelatihan BangKIT di Kecamatan Bula pada Mei 2025, ia mulai mencoba.
“Sebelumnya saya tidak tahu sagu bisa dijadikan kue,” ujar Ambas. “Jadi, ini baru mau praktik.”
Ia menjelaskan, proses pengolahan tepung sagu menjadi kue tidak terlalu sulit. Sebab, ibu-ibu di Desa Tinarin sudah terbiasa membuat kue saat perayaan hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri. Namun, proses pembuatan tepung sagulah yang memakan waktu. Misalnya, sagu yang sudah dipanen harus dijemur terlebih dahulu selama tiga hari. Jika cuaca mendung, warga biasanya menggunakan bantuan panas dari kompor minyak tanah.
Selain mengolah tepung sagu, para ibu juga diajarkan membuat selai dari daging pala. Dengan 22 biji pala, bisa dihasilkan satu wadah selai sebanyak 200 gram. Selai tersebut kemudian digunakan sebagai isian nastar atau dinikmati langsung. Menurut Ambas, sebelumnya daging pala dianggap sampah, jadi langsung dibuang.
“Baru tahu ternyata bisa jadi selai. Selama ini, katong (kita) buang saja,” tuturnya sambil mengelus tangan.
Tantangan dalam Pemasaran
Meskipun sudah memiliki keterampilan baru, para ibu di Tinarin belum berani menjual hasil olahan mereka. Menurut Oma Lis, hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dalam pemasaran. Mereka belum tahu ke mana produk harus dijual dan berapa harga yang layak.
“Masih konsumsi sendiri, belum dipasarkan,” ucapnya. “Ilmu sudah ada, tapi belum ada pembelinya,” ujar Oma Lis
Padahal, harapan besar tertanam dalam diri Oma Lis. Ia ingin pelatihan-pelatihan tersebut bisa meningkatkan taraf hidup keluarga. Namun, hingga kini ilmu yang diperoleh belum berkembang karena belum mampu menghasilkan penghasilan tambahan.
Oma Lis dan ibu-ibu Tinarin tidak kekurangan semangat walaupun terkendala tantangan dalam pemasaran. Mereka haus akan ilmu, rajin berlatih, dan siap berbagi. Namun, keterbatasan akses pasar membuat mereka seolah berjalan di tempat.
Meski begitu, mereka tak menyerah. Dengan bimbingan yang tepat, bantuan dari pemerintah, dan semangat kolektif warga, bukan tidak mungkin Desa Tinarin akan menjadi sentra produk olahan sagu dan pala di masa depan.
Bagi Oma Lis, belajar tak mengenal usia. Dan bagi perempuan-perempuan Tinarin, dapur bukan hanya tempat memasak, tetapi juga ruang tumbuh, belajar, dan bermimpi.
Siapa sangka, pendampingan penyusunan rencana desa yang difasilitasi oleh program BangKIT membawa perubahan pada hidup Oma Lis dan perempuan-perempuan lainnya di Desa Tinarin. Mereka memilih untuk memanfaatkan hasil alam yang ada di wilayahnya dan berani bermimpi untuk semakin maju. Seperti itulah seharusnya perencanaan desa, menumbuhkan harapan dan membuka jalan bagi masyarakat untuk mewujudkannya.
Om Lis berharap pemerintah, khususnya Dinas Koperasi Kabupaten Seram Bagian Timur, bisa turun tangan untuk memberikan pelatihan lanjutan tentang pemasaran produk. Bahkan, Oma Lis bermimpi suatu saat produk olahan dari Tinarin bisa menembus pasar luar Pulau Gorom.
“Dulu pernah kirim ke Jayapura, tapi untuk keluarga. Tiga sampai empat toples ukuran 200 mililiter, dijual dengan harga 20 ribu rupiah per toples,” ceritanya.
Harapan yang sama disampaikan oleh Ambas. Ia yakin jika produk olahan sagu dan pala bisa dipasarkan, maka akan membuka peluang usaha baru bagi warga desa, terutama perempuan.

Potensi Desa yang Belum Tergarap
Sebagian besar warga Desa Tinarin menggantungkan hidup dari pertanian. Komoditas utama yang dihasilkan adalah sagu, pala, dan cengkeh. Beberapa juga menanam sayuran dan tanaman hortikultura untuk kebutuhan sehari-hari.
Namun, sayangnya, hasil pertanian tersebut belum memberikan penghasilan tetap. Sagu, misalnya, masih dianggap sebagai bahan konsumsi harian semata atau dijual mentah tanpa pengolahan lanjutan.
“Selama ini belum ada hasil tambahan,” kata Ambas. “Jadi sagu hanya jadi makanan pokok saja.”
Ia menambahkan, suaminya saat ini masih berkebun sagu. Satu pohon sagu yang dipanen pada usia minimal sepuluh tahun bisa menghasilkan 1 hingga 3 karung tepung sagu, masing-masing seberat 25 kilogram.