Memberdayakan Warga, Membangun Desa

Bernardus Bili adalah Kepala Desa di Kalaki Kambe, Sumba Barat Daya. Dia memimpin desa itu sejak 2021 dengan jumlah mencapai 3000 jiwa. Secara umum desa penduduk desa bekerja sebagai petani, mengolah lahan dengan menanam jagung, pinang, singkong, dan jambu mete. 

Ketika Bernardus terpilih, dia mendekati semua orang untuk melakukan diskusi dan mencari metode yang tepat untuk membangun desa. Dia mengundang warga untuk hadir dalam Musrembang dan rapat-rapat yang diadakan di kantor desa. 

Tapi kemudian, tak banyak yang datang. Bernardus merasa kelimpungan. Tapi tahun 2023, beberapa orang mendatanginya dan mengajaknya berkolaborasi. Dia senang lalu mengetahui dan terlibat dalam Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT) dari Yayasan BaKTI. 

Perangkat Desa menjadi aparat pemerintah sebagai wadah aspirasi warga dan menjadi tempat menciptakan kehidupan bersama. Akhirnya, warga diminta untuk berbicara mengenai harapan dan keinginannya pada desa. Usulan menjadi beragam. “Jadi usulan yang banyak itu, kemudian dipilah menjadi prioritas dan kami menemukannya,” kata Bernardus. 

Pendamping lapangan BangKIT, misalkan membantu desa mengenalkan sistem pertanian yang ramah lingkungan dan efektif. Salah satunya, adalah pengenalan usaha kelompok keripik tortilla. Bagi banyak orang di luar Sumba, kata Bernardus, produk keripik itu adalah hal biasa. “Tapi bagi kami itu hal baru. Kami tidak pernah tahu di desa, kalau ubi (singkong) itu bisa dijadikan keripik. Kami hanya konsumsi direbus dan digoreng. Itu saja,” katanya. 

Praktek pertanian lainnya adalah, penanaman jagung yang dilakukan dengan membuat garis lurus. Selain tanaman menjadi rapi dan enak dipandang, warga di Kalaki Kambe tidak menyangka jika membuatnya lurus dan berjarak akan memudahkan saat melakukan pembersihan dan panen. 

Di banyak tempat di Sumba, di sepanjang lahan perkebunan warga, tanaman jagung tumbuh tak beraturan. Jika jagung sudah tinggi dan seseorang masuk ke rimbunan itu, maka untuk mencari jalan keluar akan berputar. “Kami itu tanam saja, sampai lahan yang buat jagung itu kami anggap penuh,” kata Agustinus Lelu Umbu Sogara, warga Kalaki Kambe lainnya. 

Agustinus bilang, kebun dengan jarak tanam bagus, rupanya juga menghasilkan hasil yang penan baik. “Selama ini kita bilang menanam seperti itu adalah kebiasaan dari dulu. Padahal rupanya, ada cara tanam yang lebih baik, dan leluhur kami dulu juga belum tahu.” 

Bagi Bernardus, sistem yang dikenalkan BangKIT ke desa Kalaki Kambe adalah pelajaran utama yang sangat baik. Mengenali potensi desa, kemudian merumuskannya menjadi metode dan visi. 

Berharap Desa Inklusi   

Maria Bulu (57 tahun) duduk beristirahat di bawah pohon jambu mete di samping rumahnya. Panas di siang  itu cukup menyengat. Dia mengangkat tangannya dan memperlihatkan jari-jarinya yang menekuk keras dan bergetar. 

Maria adalah seorang ibu tunggal yang punya anak enam orang. Sebelumnya Maria tinggal di kampung lain bersama suami dan anaknya. Namun ketika, anak pertamanya hendak melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, dia merantau ke Malaysia bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga. 

Di Malaysia, dia mendapat upah tujuh ratus hingga seribu ringgit. Beberapa tahun ketika Maria bekerja dia terserang sakit dan majikannya membawa ke Rumah Sakit. Setelah sakitnya berlangsung selama tiga bulan, dia melihat perubahaan tubuhnya. Tulang belakangnya menjadi melengkung dan badannya menjadi bungkuk. 

Dia lalu pulang ke Sumba. Tak berselang lama, suaminya meninggal. Dan Maria akhirnya kembali ke kampung kecilnya di Kalaki Kambe. Di petak tanah miliknya di kampung, dia membangun rumah kecil dengan dinding bambu. 

Bersama anaknya yang masih sekolah, dia menempati rumah itu dengan rasa bangga. Rumah itu tak ada listrik. Maria masuk kategori warga miskin dan menerima BLT sebanyak 300 ribu rupiah per bulan yang diterimanya setiap tiga bulan. 

Kebunnya di belakang rumah, ditanami jagung dan beberapa tanaman sayur untuk kebutuhan sehari-hari. Kegiatan lainnya adalah menenun. Baginya, menenun memberikan pendapat dengan uang cepat. “Kalau tanam kan ada jangka waktunya. Kalau jagung itu bisa tiga atau empat bulan. Mau makan apa saat tunggu panen itu, anak sekolah juga,” katanya. 

BangKIT yang kemudian bersama Pemerintah Desa memberikan bantuan benang untuk kebutuhan tenun Maria. “Kalau bantuan begini saya senang. Saya akan tanggung jawab juga biar tenunnya terus kan,” kata Maria. 

Maria membawa hasil tenunnya ke pasar terdekat. Harga tenunnya berkisar antara 250 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah. Dia memang tak membuat motif yang rumit karena pengerjaannya yang lama. “Buat yang sederhana dan motifnya yang gampang, biar cepat bisa dijual,” katanya. 

“Kami bisa juga bikin (motif tenun) yang susah, itu kalau ada yang pesan.”

Maria mengakui untuk hidup penuh dari hasil menenun, tidak mungkin. Sebab dia tak bisa terlalu lama duduk dan mudah kelelahan. Sementara menggerakkan alat tenun membutuhkan kekuatan fisik. 

Tapi jauh dari stimulan itu, yang paling membuat Maria senang adalah Pemerintah Desa mengajaknya terlibat dalam perencanaan desa. Dia bisa memberikan masukan dan menjadi perwakilan minoritas dalam program desa. “Waktu saya sudah bungkuk seperti ini, saya pikir orang-orang akan hindari. Jadi tidak pernah pikir kalau kembali bisa aktif” katanya. 

Persentuhan Maria dengan program pemerintah desa bukan lah hal baru. Sebelum suaminya meninggal dan dia masih tinggal di kampung jauh, dia terlibat dalam gerakan PKK desa. 

Sekarang di desa Kalaki Kambe ada empat kelompok tenun. Jika Maria memiliki waktu senggang dia biasa berkunjung ke kelompok itu, sekedar berbagi cerita dan berdiskusi. Maria kini menemukan kembali kepercayaan dirinya. Berbeda ketika pertama kali kembali, dia merasa rendah diri dan malu untuk bertemu orang. “Sekarang sudah nyaman. Seperti kampung kecil saya kembali dan orang-orang menjadi lebih baik,” katanya. 

“Saya jadi tidak takut dan tidak rasa dihindari orang.”