
Di depan sebuah rumah panggung di Pandua Tana, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, ada balai kecil berbentuk persegi yang dilengkapi dengan tempat duduk kayu dari papan. Tepat di sisinya ada jalan bercabang menuju kampung lain.
Di balai kecil itu, ada kabel yang mengalirkan listrik. Digunakan untuk mengoperasikan mesin gerinda dan mesin penghalus tangan. Pada pertengahan Mei 2025 itu, di tempat itu, percikan bunga api dari gerinda yang berputar kencang, mengeluarkan suara gesekan yang bisa mengganggu telinga.
Inilah salah satu tempat pembuatan parang. Sebuah aktivitas yang jika Anda berkunjung ke wilayah Sumba akan menarik pikiranmu. Sebab di Sumba lah, para pria dewasa yang berjalan-jalan dengan santai selalu membawa parang yang diikatkan di pinggangnya. Katopo, begitu bahasa lokalnya. Inilah satu dari identitas masyarakatnya, selain rumah yang atapnya menjulang anggun dan kain yang cantik.
Parang adalah identitas. Kegunaannya untuk keperluan sehari-hari dan untuk prosesi perlengkapan adat. Itu sebabnya, Martinus Bili Malo, yang berusia 71 tahun, pengrajin parang ini, selalu tersenyum bahagia jika seseorang mengunjunginya untuk bicara tentang parang.
Dia mencintai pekerjaannya, baik sebagai pewaris pengetahuan dan sebagai pendapatan keluarga. “Rumah itu, saya bangun dari hasil membuat parang,” katanya.
Martinus bangga menunjuk rumah panggung di depannya. Rumah tempatnya membesarkan lima orang anaknya. Sebelumnya, aktivitas utamanya adalah berkebun. Dia menanam jagung, kopi dan pisang. Tapi kecelakaan motor yang menimpa pada tahun 2000-an awal, membuat kaki kirinya lumpuh dan mengecil.


Martinus masih bisa berdiri dan berjalan menggunakan dua tongkat penyangga yang dibuatnya dari kayu. Kata dia, hidup terus berjalan dan menyesali apa yang terjadi pada diri sendiri, akan membuatnya larut dalam kesedihan.
Pelan-pelan dia bangkit dan memaksimalkan potensi pengetahuannya ketika masih sehat secara fisik. Parang menjadi pilihannya. Sejak kecil, orang-orang Sumba sudah akrab dengan parang. Semua orang pernah melihat pembuatannya dan semua orang mengetahui kualitas parang bagus dan jelek.
Dia kemudian membeli besi yang sudah dititi – besi plat yang digunakan sebagai shockbreaker mobil yang sudah ditempa oleh pengrajin – untuk memulainya. Martinus membuatnya di teras rumah. Menggunakan kikir manual. Satu plat besi yang belum berbentuk parang, memerlukan proses selama dua pekan.
Martinus menggosoknya dengan telaten. Lalu mengamplasnya. Terkadang tangannya keram dan bahunya pegal. Kakinya yang menjadi pijakan menahan besi juga ikut kesemutan. Telapak tangan kadang melepuh dan kebas. Dia lalu tersenyum mengenang perjalanan itu. “Sekarang tinggal tekan tombol. Mati menyala,” katanya sembari memperlihatkan mesin gerindanya.
BangKIT Bersama
Tahun 2024, Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT) dari Yayasan BaKTI menyambangi Pandua Tana. Fasilitator dan pendamping lapangan beserta pemerintah Desa dan Kabupaten, bertemu dengan Martinus.
BangKIT kemudian mengajak Martinus dalam acara berbagi pengetahuan. Martinus terhentak dan itu membuatnya berpikir terbuka. Oktober 2024, dia kemudian bersama empat kawannya warga kampung, membentuk kelompok bernama Beina Moripa – artinya suka hidup atau hidup dengan senang dan bahagia.
Kelompok Beina Moripa membuat parang secara bersama. Pekerjaan sunyi yang awalnya dilakukan Martinus seorang diri menjadi lebih ramai. Anggota kelompok itu saling membantu, membentuk besi parang, membuat pegangan dan membuat sarung parang. Produksi pun makin cepat.
BangKIT kemudian memberikan mereka stimulan bantuan berupa barang. Mesin gerinda, mesin penghalus, dan pembuatan balai kelompok. Anggota kelompok Beina Moripa senang dengan bantuan berupa barang dan bukan uang. “Kami senang dengan bantuan barang ini, jadi bukan uang,” kata Daud Tamo Amalo anggota kelompok Beina Moripa.
Daud bilang, memegang uang secara langsung, bisa saja akan berkurang dari kebutuhan, karena keinginan lain yang diidamkan. “Setelah kami berkelompok, tim BangKIT selalu datang melihat. Mereka terus liat perkembangan. Jadi tidak ditinggalkan,” lanjutnya.


Kini kelompok Beina Moripa, telah mampu menghasilkan hingga enam parang dalam sebulan. Satu parang harganya berkisar antara 250 ribu rupiah hingga 1,5 juta rupiah. Kelompok ini kemudian bersepakat untuk membagi rata hasil penjualan, kemudian akan mengeluarkan masing-masing nilai untuk menutupi biaya produksi.
Jadi Martinus, sebagai ketua kelompok, tidak langsung memotong uang produksi. Tapi membuatnya dibagi dengan adil sebagai bentuk transparansi.
Rincian produksinya adalah, bahan baku plat shockbreaker yang sudah ditempa per batangnya seharga 70 ribu hingga 85 ribu rupiah. Biaya token listrik sebesar 100 ribu rupiah untuk pemakaian selama 15 hari jika produksi berjalan setiap hari.
Melkianus Dangnga Ole, sekretaris Desa Pandua Tana, ikut bangga melihat kelompok Beina Moripa. “Kelompok ini hidup. Balai ini – tempat produksi – tidak pernah sepi. Selalu ada orang, baik yang mau lihat proses buat parang, atau yang datang mau beli,” katanya.
Aktifnya kelompok Beina Moripa, juga membantu warga desa dengan jarak. “Dulu kalau orang mau beli parang harus ke desa lain. Ini kami sudah dekat dan bisa memesan sesuai selera dan kebutuhan, dan harganya tentu lebih murah jika dibanding di pasar,” kata Melkianus.
Kebutuhan parang di masyarakat Sumba khususnya Sumba Barat Daya, sangat tinggi. Parang bukan hanya untuk kebutuhan di kebun dan rumah tangga. Tapi parang, menjadi benda paling penting dalam proses pernikahan. Melkianus bilang, jika keluarga mempelai laki-laki jika ingin meminang seorang perempuan, mereka butuh parang yang banyak. Pihak laki-laki yang mengunjungi rumah pihak perempuan akan menyerahkan parang lebih awal untuk membuka perbincangan, yang kemudian akan dibalas pihak perempuan dengan memberikan kain.
Kebutuhan parang untuk satu pesta pernikahan minimal 40 buah. Dalam keadaan tertentu parang bisa mencapai ratusan buah. Oskarius Tamo Amabili membenarkan hal itu. “Kalau seperti itu, itu bisa kewalahan untuk menerima pesanan,” katanya.
Namun, anggota kelompok Beina Moripa ini tertawa. Sebab tidak setiap hari orang menikah.
Di balai produksi parang itu, suasana menjadi gembira. Melkianus memamerkan parangnya yang hulu gagangnya menggunakan tanduk kerbau hitam mengkilat. Martinus sedang menghaluskan parang yang diperkirakannya tiga hari selanjutnya akan selesai, yang sudah dipesan orang. “Orang BangKIT itu sudah bantu kita. Orang dari luar Sumba datang bantu dan menghargai. Mau lihat kita maju,” katanya.
“Kami (Beina Moripa) sudah buat perencanaan dan akan menambah mesin satu. Uangnya sudah dikumpul sedikit-sedikit,”
“Orang seperti saya, yang sudah tidak bisa ke kebun lagi, sangat terbantu. Kami sudah dapat modal awal yang baik.”
Di sudut tempat duduk lain, Daud membenarkannya. Empat parang sedang dalam pengerjaan akhir disentuhnya. “Ini parang bisa untuk menutup kebutuhan mendesak. Karena sudah ada yang memesan. Kita juga bisa jual tanpa sarung dan pegangan,” katanya.
