
Dominggus Ditawora adalah seorang lelaki yang hangat. Dia bermukim di Desa Waiholo, Sumba Barat Daya. Acapkali saat bercerita dia akan tersenyum dan tertawa. Orang-orang kampung menjulukinya sebagai tangan berkah yang dingin.
Bukan tanpa sebab. Dominggus yang bekerja sebagai seorang petani, juga pandai membantu perempuan desa saat melahirkan. Kemampuan itu diturunkannya dari orang tua. Kemampuan lainnya, dia juga pandai menenun.
Pada pertengahan Mei 2025, Dominggus membuka ikatan benang di sebuah teras rumah warga. Teras rumah yang halamannya ditumbuhi rumput selalu digunakan anggota kelompok Lamba Leko berkumpul dan menenun bersama. Istrinya, Yustina Gheru Walu menjadi anggota kelompok itu dan bertugas sebagai bendahara.
Yustina bilang, Dominggus adalah lelaki yang tidak rewel. Dia mengerjakan dan memiliki banyak kemampuan. Menenun salah satunya. Di banyak wilayah di pulau Sumba, laki-laki dianggap tak elok jika melakukan aktivitas menenun karena pekerjaan itu disematkan pada perempuan. Tapi kenyataannya, tak ada aturan bahkan dalam pranata adat, laki-laki dilarang menenun.
Waiholo adalah desa yang berbeda secara umum. Disini laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama. Pembagian kerjanya pun sama. Mereka bekerja di kebun bersama dan mengurus rumah tangga bersama. Bukan sesuatu yang tabu jika melihat laki-laki Waiholo menyapu rumah, mencuci dan memasak. “Ouwww kalau di luar itu ada masalah kah?,” kata Yustina.
Yustina penuh keheranan mengetahui di banyak tempat sistem patriarki berkembang dengan buruknya. “Kalau ada kegiatan perempuan dan lama, tidak perlu susah. Suami juga bisa urus anak,” katanya.
Kelompok yang memberi kekuatan
Lamba Leko adalah kelompok yang menjadi rumah perempuan penenun di Waiholo. Di tempat ini mereka berhimpun dan tumbuh bersama. Pada September 2024 kelompok ini terbentuk dan aktif. Menjadi tempat mereka berbagi cerita dan saling menguatkan.
Yustina bilang, banyak orang bicara soal uang dalam kelompok. Tapi mereka tidak tahu, kalau yang paling dasar dan tidak terlihat secara kasat mata adalah semangat para anggota kelompok untuk saling menguatkan. Ada anggota yang berbagi cerita mengenai banyak hal dan kelompok ini memberi mereka pandangan.
Tapi, mereka tak pernah tahu, jika apa yang mereka jalankan merupakan proses yang paling penting. “Saya tidak tahu. Kan biasa memang orang cerita terus kita kasi saran,” katanya.
Di Waiholo menenun adalah aktivitas yang tidak diajarkan dengan paksa. Biasanya anak-anak akan tertarik sendiri untuk membantu orang tua. Dari mulai memintal, memasang alat tenun, atau membantu memasukkan kayu ke sela benang untuk membuat pola.
Ernesta Jaha Baba yang jadi ketua kelompok, mengatakan jika menenun bukan lah sesuatu yang baru di masyarakat Waiholo. “Saya belajar menenun sejak Sekolah Dasar. Lalu berlanjut terus menerus,” katanya.
“Bagaimana mau tidak tertarik menenun, tiap hari liat orang tua menenun. Ke rumah tetangga juga lihat orang menenun,” lanjutnya.


Kegiatan kelompok, kata Ernesta, yang menenun bersama setiap bulan dan bahkan beberapa kali dalam seminggu, akan semakin meningkatkan semangat anak-anak belajar. Suara ketukan kayu yang dari alat tenun yang dilakukan bersama, seolah membuat semangat. “Menenun itu tidak lama, paling lama 1,5 jam. Tapi mempersiapkan peralatannya bisa lama,” lanjut Ernesta.
Paulina Pati Bebe anggota kelompok lain membenarkan ungkapan itu. “Kalau dulu orang menenun itu di rumah masing-masing. Sekarang kalau berkelompok, jadinya tidak malas-malasan,” katanya.
“Kami menenun sambil cerita. Cerita jalan, tenun juga selesai.”
Masing-masing anggota kelompok Lamba Leko dapat menghasilkan kain tenun hingga 10 buah bahan baju. Kain baju dianggap bagian yang mudah, karena penggunaan bahannya sedikit dan ukurannya lebih kecil. Harganya juga lebih murah yakni 90n ribu rupiah.
Dibanding kain sarung yang digunakan oleh laki-laki, harganya berkisar antara 200 ribu rupiah hingga 1,5 juta rupiahTapi menjualnya di pasar, bisa menjadi lebih murah karena ada banyak pilihan. Para penenun bahkan bisa menjual kain tenun baju hanya 85 ribu rupiah. Sarung bahkan bisa hingga 150 ribu rupiah.
Meski anggota kelompok menjualnya masing-masing mereka bersepakat untuk memasukkan uang sebesar 100 ribu rupiah hingga 150 ribu rupiah per bulan ke kas kelompok. Uang ini akan dikelola bersama untuk kebutuhan mendesak anggota.
Uang yang dibutuhkan dengan segera di masyarakat Sumba memang tak bisa terduga. Perhelatan adat, seperti adanya syukuran kampung dan ritual, membutuhkan sumbangan masing-masing warga. “Kami memberi pinjaman ke anggota, tanpa bunga. Tapi semua harus sepengetahuan anggota kelompok,” kata Yustina.

Ernesta misalnya pernah meminjam sebesar 200 ribu rupiah untuk keperluan keluarga. Tapi kemudian diganti dalam tiga hari. Bagi mereka, kelompok dibangun oleh rasa kepercayaan dan prinsipnya untuk saling membantu. “Ada anggota yang meminjam uang 500 ribu rupiah untuk membeli bahan baku tenun. Namun setelah tenun selesai dan laku, dia melunasinya langsung,” kata Yustina.
Penguatan perempuan penenun ini kemudian diperkuat melalui Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT) yang diinisiasi oleh Yayasan BaKTI dan Pemerintahan Desa. “BangKIT mengajari kami cara membuat manajemen dan pembukuan dalam kelompok. Pertama kali, saya rasa buang waktu,” kata Yustina.
“Tapi setelah melaluinya, pembukuan memang paling penting. Karena tidak orang tidak bisa mengingat lama. Jadinya semua pengeluaran dan pemasukan dicatat baik-baik sama ketua kelompok,” lanjutnya.
Di dalam kelompok, Yustina sangat tegas. Meski dia tak bisa bisa membaca dan menulis. “Semua yang harus dicatat itu dilakukan ketua. Karena dia bisa baca tulis itu. Tapi saya dan yang lain memastikan, semua kegiatan harus melalui kesepakatan. Kalau tidak ada, saya tidak mau,” katanya.
Kelompok ini punya mimpi, kelak mereka memiliki tempat khusus untuk menjual dan memamerkan hasil tenun anggota kelompok. Apakah di rumah satu orang atau akan dibuat satu tempat.
Mereka sadar, penjualan hasil tenun tidak bisa lagi mengandalkan praktek jual beli massal di pasar secara terbuka. Dunia sudah bisa menjangkau Sumba dengan internet. “Kami baru angan-angan akan membicarakan ke Pemerintah Desa. Tapi belum bisa dilakukan karena anggota kami masih kebingungan menggunakan hape dan internet,” kata Ernesta. “Tapi kami mau kelompoknya yang besar. Bukan orang per orangnya. Tapi karena kelompok anggotanya jadi baik,” lanjutnya.
Selama ini, banyak orang ke Sumba mencari kain dan motif tertentu. Meski tersisa sedikit orang yang merawat tradisi tenun secara turun temurun, menggunakan kapas dan pewarna alami, bukan berarti penenun akan hilang. “Yang terbaik dari Sumba itu tenunnya. Tapi penenun masih hidup kurang sejahtera,” anggota lain menimpali.
Di Waeholo, tenun tak bisa menjadi tumpuan utama ekonomi keluarga. Karena dilakukan di saat selang dan santai. Sementara pemasarannya masih mengandalkan pasar umum yang digelar dua kali seminggu. Atau mengandalkan pembeli dari masyarakat lokal sendiri untuk acara adat.
Sementara pelancong yang mendapati kain itu di toko-toko yang berada di pusat kabupaten, harganya menjadi jauh lebih mahal. Beberapa perempuan penenun bilang, jika harga sarung laki-laki dengan motif sederhana sudah tidak masuk akal dan tetap orang beli. “Itu mungkin mereka beli di penun harga murah, terus jual harga tinggi. Harusnya tidak boleh begitu,” kata Marta Ambu Kaka salah satu anggota kelompok.
Martha bilang, kain tenun itu harus menunjukkan identitas orang sumba. Sederhana dan penuh syukur. Kalau tenun, lanjutnya, dijual dengan mahal tapi pembuatannya tidak susah, maka itu tidak elok.


Membuat produk turunan
Sementara itu di desa Buru Deilo, kelompok tenun Mele Ngodo yang juga diinisiasi Program BangKIT telah membuat produk turunan dari kain sisa tenun. Saat tim melaksanakan pertemuan dalam kelas belajar bersama, beberapa warga tak pernah menyangka, jika sisa kain dapat digunakan.
Selama ini, beberapa barang yang mereka gunakan bahkan dari sisa kain dan dibeli di toko atau pasar. “Saya akhirnya sadar. Jadi selama ini kami buang saja atau jadikan lap sisa kain itu,” kata Wilhelmenia Lende (36 tahun).
Wilhelmenia adalah ketua kelompok Mele Ngodo – yang berarti pekerjaan yang bisa dilakukan dalam waktu senggang. Bersama Mele Ngodo, dia menemukan aktivitas yang memadukan pekerjaan baik mencari uang dan menjadi gerakan perempuan untuk saling menguatkan.
Wilhelmenia melalui sisa kain tenun, telah mampu membuat bandana, tas untuk tempat kecil seperti hape, dompet, anting, gelang, dan ikat rambut. “Secara pribadi, saya senang sekali dengan apa yang saya lakukan. Ini dompet saya dari sisa kain tenun,” katanya dengan bangga sembari menunjukkan.
BangKIT kemudian memberikan kelompok ini bantuan mesin jahit dan benang untuk kebutuhan dasar yang akan menjadi modal aktivitas kelompok. “Kami kini menjadi kelompok percontohan di beberapa desa. Saya beberapa kali ke berbagai kelompok dan desa, untuk saling bagi pengetahuan,” kata Wilhelmenia. “Saya senang sekali.”