Buah Pala, Buah Harapan

“Apa yang akan kalian lakukan jika punya banyak pala?”

Empat perempuan paruh baya duduk membentuk lingkaran, beralaskan tikar di halaman rumah yang rindang. Di hadapan mereka, terdapat tiga baskom besar, salah satunya berisi air dan daging buah pala yang baru dikupas. Suasana terasa akrab dan penuh tawa, meskipun tangan mereka sibuk mengolah hasil kebun.

Seorang ibu dengan jilbab biru tua cekatan mengupas buah pala dengan pisau kecil, lalu memasukkan dagingnya ke dalam baskom berisi air. Di sebelahnya, ibu berjilbab merah muda tampak hati-hati mengiris tipis-tipis daging pala menggunakan pisau tajam. Sementara itu, dua ibu lainnya saling bergantian memarut daging pala—satu dengan alat manual, satu lagi dengan alat parut listrik.

Di tengah aktivitas itu, Rahima Kelutur, 59 tahun, terlihat memberikan arahan. Ia meminta seorang ibu mengambil kain berongga dan air bersih. Kain itu digunakan untuk memeras daging pala yang telah diparut. Daging pala yang diparut kemudian diletakkan di atas kain, ditambahkan air, lalu diperas hingga keluar sari buahnya. Hasil perasan dikumpulkan dalam baskom besar, sementara ampasnya dibuang ke sisi tikar.

Proses berlanjut. Air perasan tersebut dimasukkan ke dalam panci besar dan dimasak di atas kompor minyak tanah bermerek Hock. Bersamaan dengan itu, gula pasir ditambahkan dan adonan jus pala diaduk hingga mendidih. Aroma harum mulai menguar dari panci, memberi isyarat bahwa jus pala hampir siap dinikmati.

Sambil menunggu air mendidih, para ibu menyiapkan botol-botol kecil berukuran 220 mililiter. Botol-botol itu akan digunakan untuk menyimpan jus pala yang sudah matang. Aktivitas ini dilakukan dengan semangat, meskipun produk akhir belum dijual secara komersial. Semua masih untuk konsumsi sendiri, terutama saat momen spesial seperti Ramadan atau hari raya.

Awal Mula Belajar Mengolah Pala

Rahima mengenang momen pertamanya belajar mengolah daging buah pala. Ia mendapat ilmu ini ketika mengikuti pelatihan di Desa Arewang, Kecamatan Pulau Gorom, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, pada Mei 2024. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Yayasan BaKTI bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Timur.

Sepulang dari pelatihan, Rahima langsung mempraktikkan ilmunya. Ia mencoba membuat selai dan jus pala tiga kali di rumah. Meskipun hasilnya belum sempurna, ia bangga karena berhasil mengolah bagian buah yang selama ini dianggap tidak berguna. Sayangnya, pala hanya berbuah dua kali setahun. Maka dari itu, pengolahan ini masih dilakukan dalam skala kecil.

Beberapa waktu sebelumnya, di akhir tahun 2023, inisiatif untuk mengadakan pelatihan teknis pengolahan pala ini muncul dalam perencanaan Desa Armada yang diikuti Rahima Kelutur. Yayasan BaKTI melalui Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT) mendampingi proses perencanaan Desa Armada untuk meningkatkan akses peluang penghidupan bagi masyarakat desa. Hal itu dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam menyusun perencanaan desa. Ya, masyarakat bersama pemerintah desa, mereka mestilah bekerja sama, terutama karena masyarakat sendiri adalah sasaran pembangunan itu. Dengan begitu, perencanaan ini akan menghasilkan rencana yang berasal dari analisis kebutuhan dan potensi yang ada oleh masyarakat sendiri. Bukankah yang paling tahu tentang kehidupan di sebuah desa adalah masyarakatnya sendiri? Maka dari itu, mestilah masyarakat menjadi subjek utama dalam perencanaan penghidupannya.

Daging Pala Dulu Dibuang

Desa Armada, tempat Rahima tinggal, terletak di Kecamatan Gorom Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur. Desa kecil ini memiliki 279 jiwa penduduk per tahun 2024. Topografi wilayahnya cukup menantang, terdiri dari 15 desa dengan total luas 22,29 km². Untuk menuju ibu kota kabupaten di Kecamatan Bula, warga harus menempuh perjalanan laut selama 11 jam menggunakan kapal feri. Kapal ini hanya beroperasi dua kali dalam seminggu.

Mayoritas warga Desa Armada bermata pencaharian sebagai petani pala, cengkih, dan sagu. Namun, tanaman pala hanya berbuah dua kali dalam setahun. Saat musim panen tiba, setiap keluarga pergi ke kebun untuk memetik pala. Proses panen dilakukan secara tradisional, menggunakan bambu kecil dengan pengait logam di ujungnya untuk menjolok buah pala dari dahan.

“Biasanya yang diambil cuma biji dan, bunga palanya. Dagingnya langsung dibuang,” jelas Rahima. Sejak mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Program BangKIT, Rahima mulai memahami bahwa daging buah pala sebenarnya memiliki nilai ekonomi.

Rahima pun mengenang ketika ia terlibat dalam menyusun sketsa desa dan kalender musim saat proses perencanaan Desa Armada. Itu kali pertama ia melakukan tahapan perencanaan desa yang dimulai dari analisis kondisi desa. Pala yang banyak ditemukan di wilayah desanya teranalisis sebagai sebuah potensi. Kini pala telah menjadi salah satu olahan yang memiliki potensi ekonomi ke depannya berkat dimuatnya usulan pengembangan penghidupan melalui pengolahan pala dalam perencanaan desa yang ia ikuti. Untuk meningkatkan penghidupan melalui pengolahan pala, pelatihan teknis pengolahan pala pun dilakukan dan diikuti Rahima bersama 35 orang lainnya.

Dari Sampah Jadi Manfaat

Rahima mengingat kembali bahwa dalam pelatihan ia diajarkan empat produk yang bisa dibuat dari daging pala: selai, jus, sirup, dan manisan. Dulu, semua bagian daging pala dibuang begitu saja di kebun. Kini, mereka sudah bisa mengolahnya. 

Mengupas kulit pala dan membersihkan dagingnya, lalu merendamnya dalam larutan garam selama 12 jam. Setelah itu, daging diparut, diperas, dan sarinya dimasak dengan gula hingga menjadi jus.

Senada dengan Rahima, Nur Jali Kelutur, 45 tahun, juga merasakan manfaat dari pelatihan itu. Awalnya ia pun tidak tahu bahwa daging pala bisa diolah. Namun setelah ikut program BangKIT, ia mulai terbiasa membuat manisan dan jus pala. Cara membuat manisan cukup sederhana: daging pala diiris tipis, direndam dalam gula pasir hingga gula larut dan meresap ke dalam serat buah.

“Kalau gulanya sudah meleleh, berarti sudah manis dan bisa dimakan,” katanya sambil terus mengiris daging pala.

Untuk membuat jus pala, prosesnya sedikit berbeda. Daging diparut, kemudian diperas untuk diambil airnya. Setelah itu, air sari pala dimasak bersama gula hingga mendidih. Sebelum dikonsumsi, ditambahkan bunga pala agar rasa asamnya lebih terasa. Menurut Nur, bunga pala membuat rasa jus menjadi lebih segar dan khas.

Potensi Ekonomi yang Belum Terwujud

Meskipun kini tahu cara mengolah daging pala, warga Desa Armada belum bisa menikmati manfaat ekonominya. Produk olahan ini masih sebatas untuk konsumsi pribadi atau suguhan saat hari besar. Padahal, menurut Rahima, sekali panen ia bisa mendapatkan hingga 50 kilogram daging pala—jumlah yang cukup besar untuk diolah dan dijual.

Kendala utama yang dihadapi warga adalah pemasaran. Hingga kini, belum ada dukungan dari pemerintah daerah dalam memasarkan produk olahan pala. Bahkan, saat ada kunjungan dari ibu-ibu PKK, mereka hanya membawa pulang produk warga secara gratis tanpa memberikan bantuan pemasaran.

“Katong (kita) berharap produk ini bisa ditampilkan setiap pameran,” ucap Rahima dengan nada berharap. “Masyarakat butuh diajarkan sistem pemasaran supaya produk bisa dijual.”

Rahima dan para ibu rumah tangga lainnya bermimpi produk olahan pala ini bisa menjadi sumber penghasilan utama. Mereka berharap bisa membentuk kelompok usaha kecil atau koperasi desa yang fokus pada olahan pala. Dengan pelatihan lebih lanjut dan akses ke pasar yang lebih luas, produk mereka bisa menjangkau kota-kota besar di luar Maluku, bahkan sampai ke Pulau Jawa.

Selain memiliki rasa khas dan aroma harum, produk olahan pala juga dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan. Jus pala yang hangat dikonsumsi, konon bisa meningkatkan daya tahan tubuh, membantu pencernaan, dan memberi efek menenangkan.

Harapan Masa Depan

Rahima, Nur, dan ibu-ibu lainnya di Desa Armada memiliki semangat besar. Mereka tidak hanya ingin sekadar tahu cara mengolah, tapi juga berharap bisa menjadikan daging pala sebagai sumber penghasilan. Mereka ingin hasil kerja tangan mereka dikenali dan diapresiasi lebih luas.

“Katong (kita) tidak mau cuma bisa bikin saja, tapi juga bisa jual. Biar hasil kebun tidak terbuang sia-sia,” tutur Rahima sambil menyeka keringat di dahinya.

Bagi mereka, pala bukan sekadar komoditas kebun. Pala adalah harapan. Harapan akan masa depan yang lebih sejahtera. Harapan agar hasil bumi desa tidak lagi hanya untuk dikonsumsi, tapi juga bisa memberi nilai tambah bagi ekonomi keluarga.

Jika suatu hari nanti ada yang bertanya lagi: “Apa yang akan kalian lakukan jika punya banyak pala?” Maka dengan penuh percaya diri, ibu-ibu di Desa Armada akan menjawab, “Kami akan olah, kami akan jual, dan kami akan sejahtera.”