Kisah Ramli, Nelayan Jaring dari Nama Andan

Nama Andan adalah salah satu pulau kecil di Provinsi Maluku, dengan jumlah 98 kartu keluarga. Terletak di Teluk Waru, sekitar 8,5 kilometer dari Tanjung Ilor, Pulau Seram. Pulau ini membentang sepanjang lima kilometer dan dikelilingi oleh terumbu karang serta pohon mangrove.

Perairan yang memisahkan Pulau Parang dan Pulau Seram ini dikenal sangat dalam, lebih dari 180 meter. Lokasi ini juga biasa disebut pulau batu gamping, dengan struktur terumbu karang yang dapat ditemukan pada bagian tengah. 

Meski memiliki keindahan alam yang luar biasa, pulau ini masih menghadapi pelbagai keterbatasan. Listrik belum tersedia secara normal dan kebutuhan air bersih yang susah. Warga hanya bisa mengandalkan tampungan air hujan.

Pagi itu, sebuah perahu kecil bermesin 15 PK menepi di pantai Desa Belis, Kecamatan Teluk Waru, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku. Perahu itu dinahkodai oleh Pak Imam, begitu panggilan akrabnya kami ke dia. 

Saat itu, ada lima orang yang ingin menyeberang menuju Pulau Nama Andan. Kami berangkat pukul 10.00 WIT dan tiba sekitar pukul 11.30 WIT. 

Sesampainya di pulau, kami menuju rumah Ramli Rumeon. Lelaki berusia 31 tahun ini menyambut dengan ramah. Kami disuguhkan kopi dan biskuit cokelat. Rumahnya setinggi betis orang dewasa, dan berdinding papan, yang berdiri menghadap langsung ke laut. Ketika banjir rob datang, air laut bisa mencapai teras rumahnya.

“April lalu air naik sampai di teras,” kata Ramli sambil menunjuk ke depan rumahnya, Selasa, 20 Mei 2025. “Itu sudah menjadi tamu setiap tahun, banjir bisa dua sampai tiga kali.”

Kondisi air laut, lanjut dia, sangat memengaruhi kehidupan nelayan seperti dirinya. Ia hanya bisa melaut ketika cuaca baik dan air laut pasang. Karena, waktu itu yang tepat untuk turun menangkap ikan.

Ramli adalah nelayan jaring. Ia menangkap ikan menggunakan perahu bermesin 15 PK. Setiap kali turun melaut, ia membutuhkan sekitar dua liter bensin. Di Pulau Nama Andan, harga bensin mencapai 18 ribu rupiah per liter. Sekali melaut, Ramli bisa mendapatkan ikan 15–40 kilogram, itupun tergantung cuaca dan musim. Jenis tangkapannya bervariasi, antara lain baronang, cakalang, dan kembung. Dalam sepekan, ia turun melaut  tiga sampai empat kali.

Setiap hasil tangkapannya lalu disimpan di dalam es batu balok agar tetap segar. “Tiga hari baru di bawa ke Waru, itupun harus cukup 100 kilogram,” jelasnya. “Pulangnya bawa es batu. Jadi tidak lari kosong.”

Di Kecamatan Waru, ikan itu dijual seharga 20 ribu rupiah per kilogram. Dengan hasil penjualan itu, Ramli membelikan es batu balok sebanyak 150 batang. Itu yang akan digunakan selama tiga hari ke depan. Harga es batu 5 ribu rupiah per empat balok. 

Jika stok es kurang, ikan bisa cepat membusuk, dan ia pun merugi. Apalagi, untuk perjalanan pulang-pergi ke Waru, dibutuhkan 15 liter bensin. Tetapi, sejauh ini Ramli selalu membawa ikan sedikitnya 100 kilogram untuk dijual.

Dari Pancing ke Jaring

Pulau Nama Andan adalah salah satu negeri administratif di Pulau Parang, yang terletak di tenggara Laut Seram. Pada Tahun 2023, pulau ini dihuni oleh 372 jiwa, sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.

Salah satunya Ramli. Ia sendiri dulu adalah nelayan pancing, profesi itu ia geluti selama 15 tahun. Ikan hasil pancingnya dijual di kampung dengan harga Rp10 ribu per lima ekor. Sayangnya, hasil itu tidak cukup untuk menutupi kehidupan sehari-hari keluarganya. Mau dijual ke Waru juga biaya operasional kapal yang mahal.

“Kalau dapat ikan 20 ekor, paling harganya 20-30 ribu rupiah  saja. Tidak menutupi pembeli bensin,” ucap ayah empat anak ini.

Tahun 2015, ia memutuskan beralih menjadi nelayan jaring. Kala itu, ia membeli jaring sepanjang 100 meter seharga 200 ribu rupiah. Saat air laut pasang di sore hari, ia langsung turun melaut sekitar pukul 15.00 WIT lalu menarik jaringnya pukul 19.00 WIT. Berbeda saat datang musim barat, Ramli turun melaut subuh sekitar pukul 04.00 WIT dan menarik jaring pagi hari.

Lokasi penangkapan ikan cukup dekat dari rumahnya. Karena ia memasang jaring berdasarkan pasang surut air laut. “Cuma sebentar air meti (surut), paling dua atau tiga jam jaring sudah ditarik,” jelasnya.

Kondisi penghidupan masyarakat yang sangat bergantung pada alam merupakan salah satu tantangan bagi masyarakat desa, terutama di kawasan timur Indonesia. Menyadari hal ini, Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT) pun mendorong peningkatan penghidupan melalui perencanaan yang berbasis masyarakat dan terintegrasi dengan perencanaan pemerintah daerah.

Seperti kondisi di Desa Nama Andan yang penghidupan masyarakatnya adalah sebagai nelayan. Tentu saja kondisi cuaca akan sangat mempengaruhi sumber mata pencaharian mereka ini. Karena itu, pengetahuan akan teknik penangkapan ikan yang lebih efektif agar dapat meningkatkan penghasilan dan menutupi kebutuhan di masa ketika cuaca tidak memungkinkan untuk melaut.

Program BangKIT pun memfasilitasi perencanaan penghidupan berkelanjutan di Desa Nama Andan pada November 2023. Dalam kegiatan itu, masyarakat memetakan sendiri kondisi desa mereka. Menemukan potensi dan kendala yang dihadapi untuk mengembangkan kehidupan mereka di desa. Masyarakat sendiri pula yang menyusun rencana untuk mengatasi permasalahan yang teridentifikasi sekaligus untuk meningkatkan potensi yang ada. 

Hasilnya, Pelatihan Teknis Pengembangan Perikanan Tangkap dan Manajerial Kelembagaan Kelompok Nelayan pun diadakan sebagai jawaban atas usulan dan rencana masyarakat. Di samping itu, juga terdapat paket stimulan yang diberikan untuk mendukung kegiatan penghidupan yang dikerjakan.

Setelah sembilan tahun menjadi nelayan jaring, melalui paket stimulan Program BangKIT, Ramli pun mendapat bantuan berupa jaring tambahan sepanjang 50 meter dengan lebar 370 meter. Supaya panjangnya bertambah, ia membagi dua lebarnya masing-masing 185 meter. Kemudian disambung panjangnya menjadi 100 meter.

“Sebelum program BangKIT, beta (saya) sudah pakai jaring,” tuturnya. “Cuma dengan bantuan itu, jaring saya bertambah panjang.”

Karena jaringnya kini panjangnya mencapai 200 meter, ia mengajak seorang teman untuk turun melaut. Ramli dibantu membentangkan jaringnya yang panjang itu. Hasil tangkapan pun dibagi dua.

Mencicil Perahu dan Mesin

Meski punya jaring, perahu tetap menjadi alat utama untuk turun melaut. Ramli pun mencicil perahu selama enam bulan, membayarnya 1 juta rupiah per bulan ke pembuat perahu di Kecamatan Waru.

“Awal Tahun 2024, beta (saya) punya cicilan kapal lunas, semua dari hasil melaut,” ujarnya.

Tak hanya perahu, ia juga mencicil mesin 15 PK seharga 20 juta rupiah. Kini, semua cicilan itu sudah lunas. Berkat jaring yang panjang dan hasil laut yang stabil, ia bisa meraup lebih dari 2 juta rupiah sekali jual. Itu yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.

Dalam pelatihan yang diadakan program BangKIT Tahun 2024. Menurutnya, beberapa laki-laki yang ikut belajar sudah tidak menjadi nelayan lagi. Mereka tidak sanggup untuk bertahan menangkap ikan di laut. Selain melaut, sebagian besar warga juga bekerja membuat kopra ketika cuaca buruk menghalangi aktivitas tangkap ikan.

Membuat kopra, kata Ramli, membutuhkan waktu yang lama dan tenaga ekstra. Sebab, kelapa harus dipanjat terlebih dahulu, lalu dikumpulkan, dibelah, dan diasapi. Proses inilah yang membutuhkan waktu hingga 12 hari.

Beta kerja kopra, kalau cuaca buruk, tidak bisa melaut,” tambahnya.

Anak Muda Tinggalkan Pulau

Beberapa bulan terakhir, banyak anak muda di Pulau Nama Andan yang memilih merantau. Mereka berbondong-bondong ke ibu kota Kabupaten Seram Bagian Timur. Kemudian menempuh perjalanan darat menggunakan mobil. Selanjutnya menyeberang ke Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, untuk bekerja ditambang nikel.

“Sudah tidak ada anak muda di sini, pergi semua kerja tambang,” ujar Pak Imam – sapaan Usman saat berbincang-bincang di rumahnya.

Saat ini  satu-satunya anak muda yang masih ada di Pulau Nama Andan adalah Erik Maba, anak dari Pak Imam. Ia tidak merantau karena baru lulus Sekolah Menengah Atas dan memilih ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas.

Tetapi keinginannya untuk melanjutkan kuliah belum bisa terpenuhi tahun 2025, karena keterbatasan biaya. Menurut Pak Imam, Erik mau sekali lanjut sekolah, tetapi masih ada kakaknya yang kuliah, sehingga beban ekonomi keluarga cukup berat.

“Mau sekali sekolah (Erik), tapi uang tidak cukup,” kata Pak Imam.

Penghasilan sebagian besar masyarakat di Pulau Nama Andan berasal dari kopra dan usaha mereka sebagai nelayan. Kopra adalah daging buah kelapa yang dikeringkan. Sedangkan nelayan tidak bisa diandalkan ketika cuaca buruk datang. Sehingga, banyak anak muda yang memilih meninggalkan kampungnya.