
Di halaman rumah Agustinus Umbu Pati di desa Mata Wee Lima, Sumba Barat Daya, beberapa perempuan sedang sibuk mengolah lahan. Membuat bedengan kecil, menggemburkan tanah, lalu meletakkan biji kangkung yang kecil di tanah itu. Semua orang bahagia serta tertawa.
Mereka adalah petani yang tergabung dalam kelompok Hidup Bersama. Anggotanya berjumlah 15 orang. Sebagian besar adalah perempuan. Ketika mereka beristirahat dan menikmati minuman teh atau pula kopi, penjual sayur keliling menggunakan motor melintas dan berhenti. Seorang warga membeli tempe dan tahu.
Lusiana Winiki juga turut serta membeli tomat dan cabai. Sembari berjalan dia bersungut dan bercanda kepada warga lain. Harusnya, kata dia, sayur yang dipegangnya itu tak dibeli lagi. “Tapi apa boleh buat, beberapa minggu lalu tomat dan cabai sudah panen. Sekarang baru menanam lagi,” katanya.
Lusiana adalah istri dari Agustinus. “Ada kebun sayur tapi masih beli sayur juga,” kata yang lain menimpali yang disambut tawa.
Dapur Hidup begitu warga di Mata Wee Lima menyebutkan kebun kecil yang berada di dekat rumah. Kenapa hidup, karena itu terhubung langsung dengan dapur setiap saat. Kalau malam, makan sesuatu, atau saat hujan deras dan tak bisa kemana-mana, keperluan sedikit seperti daun sop, cabai, tomat, atau daun bawang, akan tersedia dan hanya memerlukan beberapa langkah mencapainya.
Bukan hanya mengupayakan keberlanjutan Dapur Hidup. Kelompok Hidup Bersama ini juga telah memiliki demplot sendiri yang ditanami berbagai tanaman hortikultura, seperti kangkung, sawi, hingga terong. Dan ketika panen tiba, kebutuhan anggota kelompok lah yang diutamakan, kemudian kesepakatan lainnya bisa dijual.
Hasil penjualan itu kemudian diputar kembali dan selebihnya menjadi kas kelompok. Dan akan digunakan dengan kesepakatan bersama. Namun, bagaimana kelompok ini bermula, lalu bertahan dan melakukannya secara bersama?


Itu bermula pada awal tahun 2024. Yayasan BaKTI melalui Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT) mengunjungi desa Mata Wee Lima.
Agustinus yang menjadi bagian dari keanggotaan Badan Pembangunan Desa (BPD) ikut menyambutnya. Mereka kemudian berdiskusi dan memaparkan potensi desa. Agustinus tertarik. Kemudian pertemuan terus berlanjut.
Bagi Agustinus potensi desa harus dikembangkan dan dapat menghasilkan. Tapi pemahaman itu menjadi keliru khusus baginya, yang selalu menilai semua hal menjadi uang. Apakah benar itu yang dibutuhkan warga? Akhirnya, warga diundang untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diinisiasi oleh Pemerintah Desa bersama BangKIT.
Banyaknya kepala dan pikiran, menciptakan masukan yang beragam. Semua orang akhirnya menyadari, jika pembangunan desa yang baik tidak akan berhasil jika semua idenya ditumpukan ke Pemerintahan Desa.
Bahkan selama ini, warga desa tak pernah tahu, besaran anggaran untuk setiap program. Hal itu kadang hanya dilakukan dan disepakati oleh perangkat Pemerintah Desa saja. Praktik tersebut tentu keliru, namun bisa menjadi pemakluman karena tidak ada yang memahami mekanisme perencanaan dengan baik. “Setelah kami bersama teman-teman BangKIT melihatnya, kami mulai meninggalkan praktik yang keliru itu,” kata Agustinus.
Bagi Agustinus, kebun warga menjadi contoh kecil pemberdayaan berbasis kebutuhan. Bukan keinginan.
“Iya toh, kebun-kebun kecil dapat hasilkan cabe, tomat. Kalau tidak dijual itu dimakan sendiri, maka itu juga menghemat dan tidak mengeluarkan uang,” kata Carolina Onci Bulu (42 tahun) anggota kelompok lainnya.
“Jadi kalau menjual dan membeli itu sama saja. Tapi menjual dan tidak membeli itu bagus,” lanjutnya.
Ester anggota kelompok lain berseloroh. Kalau semua warga punya kebun sayur dekat rumah, tidak ada lagi penjual sayur yang masuk desa. “Kalau ikan atau yang tidak bisa ditanam yang dibeli itu tidak apa-apa,” katanya.

Membuat Pupuk
Kelompok Hidup Bersama sudah terbentuk. Untuk membuatnya terus berkembang, pendukung lainnya adalah menyiapkan pupuk lahan yang akan ditanami sayuran. Pada April 2024, BangKIT bersama Pemerintahan Desa melakukan pelatihan bersama warga untuk pembuatan pupuk organik dan pengolahan lahan secara organik.
Dua bulan kemudian, kelompok ini mulai melakukan praktik. Warna mengumpulkan bahan dasarnya yang menggunakan daun lamtoro, gamal, takabala, batang pisang dan serbuk kayu. Bahan awal itu kemudian dicincang kecil lalu dicampurkan dengan kotoran kambing dan arang.
Hasil campuran itu kemudian ditutup terpal dengan rapat untuk menghasilkan proses kimia dari campuran berbagai bahan itu. Setelah proses fermentasinya berhasil, pupuk padat itu kemudian ditaburkan ke lahan yang sudah dibersihkan.
Keuntungan lain di Mata Wee Lima, hampir semua bahan pembuatan pupuk tidak dibeli karena tersedia di kebun-kebun warga. Lalu kotoran kambing juga mudah didapatkan. Warga yang memelihara kambing akan memberikannya secara sukarela, sebab kotoran ternak itu akan semakin lama akan menumpuk dan membuat aroma tak sedap. Dengan adanya kelompok pertanian ini, pemilik pemilik peternakan kambing merasa sangat terbantu dan senang, karena pemiliknya tak perlu lagi menyiapkan waktu untuk membersihkan kandang.
Sekarang, kelompok ini sudah dapat memproduksi pupuk kompos organik sebanyak 350 kg. Dimana modal awalnya adalah 70 ribu rupiah, untuk membeli EM4 dan gula pasir. Lalu kelompok juga membuat pupuk cair sebanyak 100-an liter dengan metode fermentasi yang menggunakan bahan dasar cabe, bawang putih, serai dan jahe.
Total penjualan dari hasil kebun dan pupuk kompos itu telah mencapai 3 juta rupiah. Modal itu kemudian kembali diputar dan mengembang usaha peternakan ayam yang kemudian tak berlanjut, karena dianggap gagal. Usaha lain kelompok adalah sisa hasil usaha dijadikan bisnis penjualan token listrik.


Ketika pupuk ini digunakan di tanaman sayur, pertumbuhannya menjadi lebih baik dan sehat. Daun tanaman menjadi lebih hijau dan tebal. “Jadi sekarang, saya sudah tahu, mana sayur yang pakai pupuk kimia dan pestisida, mana yang alami,” kata Ester.
“Rasanya berbeda sekali. Susah bilangnya. Tapi kalau organik, sayuran punya rasa masing-masing. Kalau kimia, susah rasanya muncul,”
“Mungkin orang-orang tua kami dulu kenapa hidupnya sehat-sehat, karena mereka tidak pakai pupuk kimia. Saya bisa mengerti sekarang.”
Selama ini, para petani acapkali mengeluhkan biaya pupuk yang semakin tahun semakin mahal. “Sekarang dengan kompos bisa lebih murah dan sehat. Yang diperlukan cukup waktu luang sebentar,” kata Lalimila (61 tahun) anggota kelompok lainnya.
Setelah kebun utama Kelompok telah menghasilkan panen, rupanya kata Agustinus, kebutuhan sayur dalam desa saja tak bisa dipenuhi. Ini berarti, selama ini warga yang membeli sayur tanpa mengetahui sumber pangannya apakah sehat atau tidak, tapi terus dikonsumsi hanya lah karena ketidaktahuan.
Kini Pemerintah Desa sedang menggalakkan warga untuk membuat Dapur Hidup di setiap rumah. Gerakan pertanian yang sehat seperti ini akan terus direplikasi agar semua orang menyadari pentingnya sumber pangan yang sehat. “Tidak semua pangan harus dibeli. Semua bisa diusahakan dan ditanam,” kata Agustinus.
