
Mata Kapore adalah desa yang berhawa sejuk di Sumba Barat Daya. Dikelilingi pepohonan hijau, sungai yang mengalir jernih dan hamparan sawah. Pada sebuah siang di pertengahan Mei 2025, hujan mengguyurnya.
Oktavianus Umbu Halato Tana (41 tahun) adalah kepala desa Mata Kapore. Dia bicara dengan semangat tentang desanya yang tenang. Tanahnya subur dan ditumbuhi banyak tanaman. Di sekeliling rumah ada kopi yang bertumbuh dengan lebat.
Ketika menyesap kopi di halaman rumahnya, dia menerawang mengenang masa lalunya. “Sepintas kelihatan tidak ada yang berubah. Tapi di dalamnya, sungai sudah mulai rusak,” katanya.
Hingga kemudian Yayasan BaKTI melalui Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT) bersama perangkat desa dan warga duduk bersama. Mereka mulai mengembalikan identitas dan kebanggaan kampung. Menelisik potensi desa dan perlahan bergerak bersama.
Beruntung Oktavianus, pernah mengenyam pendidikan di pulau Jawa dan melihat perkembangan kampung lain. Dia mulai membandingkannya dengan kampung halamannya. Dia gelisah dan akhirnya menemukan jawabannya.
Hal pertama yang menjadi penyesalan semua warga adalah sungai yang telah rusak. Padahal hingga tahun 2010, sungai menjadi ‘surga’ lauk bagi masyarakat. Udang dan ikan begitu mudah diperoleh di alirannya. Kenapa biota air itu menghilang? Warga kemudian berdiskusi dan mencari muasalnya.

Racun rumput adalah petakanya. Ketika bahan-bahan pestisida makin masif digunakan warga saat bertani, mereka mencuci tangki semprot di sungai. Namun yang paling tak terkendali adalah racun itu dicampurkan ke parutan kelapa, lalu disebar di aliran sungai. Atau bahkan racun itu langsung dituangkan di sungai.
Ketika racun itu, sudah terbawa arus, udang dan ikan, baik yang besar dan kecil akan mengambang mati. Dan warga memungutnya untuk dikonsumsi. Dominikus Lotakaka membenarkannya. “Dulu saya juga melakukannya. Sekarang baru rasa sesalnya,” katanya.
“Sekarang kalau mau pikir, udang diracun terus kami makan lagi. Untung saja orang tidak ikut mati.”
Dominikus seperti warga lainnya hanya bisa membayangkan gurih dan manisnya udang sungai. Namun, saat ini jika mereka menceritakan itu ke anak-anak, mereka tak seorang pun yang percaya. “Berarti kami sudah rusak alam ini.”
Akhirnya warga menginisiasi penjagaan kampung. Meski mereka tidak melakukan patroli secara rutin, tapi dua aliran sungai besar yang ada dalam kampung itu, selalu diselidiki setiap saat. Tahun 2023, seorang warga melaporkan melihat beberapa orang di aliran sungai. Pelan-pelan warga menelisik dan mendapati beberapa pria itu sedang memungut ikan dan belut yang sudah mengambang.
Warga bereaksi dan mulai menemukan jika beberapa pria bukan warga desa. Warga mengejar dan mengusirnya. “Sekarang kami sepakat ingin jaga sungai itu. Dan bertekad mengembalikan biotanya,” kata Oktavianus.
Bahkan, Pemerintah Desa bersama warga sedang menggodok Peraturan Desa untuk menjaga lingkungan, khususnya aliran sungai. “Kami mulai dari yang paling Nampak dulu. Dimulai dari sungai. Jika perlu, akan kami sandingkan dengan peraturan adat.”

Mengembangkan Potensi Desa
Alam yang hijau dan sejuk seharusnya menjadi berkah. BangKIT bersama warga dan Pemerintah Desa, kemudian mengembangkan usaha perikanan air tawar. Melalui bantuan dan inisiasi bersama itu, bantuan diberikan kepada warga sebanyak 2000 bibit ikan patin. Terpal pembuatan untuk kolam dan pakan.
Dominikus menjadi orang pertama yang bersedia melakukan pengembangan ikan itu. Meski kesehariannya adalah bekerja sebagai petani yang mengolah lahan dengan menanam jagung, padi, kopi dan kakao.
Dia memiliki 5 orang anak dan dua orang cucu dan masih tinggal bersama di rumah panggungnya. Dia merasa tak pernah kekurangan. Sekali panen, sawahnya dapat menghasilkan empat karung gabah untuk kebutuhan makan.
Tapi dengan budidaya ikan dan mengikuti pelatihan cara budidaya ikan dalam kolam, dia merasa tertarik. Bibit ikan itu kini sudah berumur 6 bulan. Dan sudah mulai dinikmati warga. Beberapa warga sudah mencicipinya, mengatakan rasanya enak, gurih dan dagingnya empuk.
Lalu informasi berkembang dengan cepat. Dua warga lainnya kemudian membuat kolam. Warga bersama saling membantu menggali tanah. Menaburkan sekam kayu di lantai kolam sebelum menutupnya dengan terpal. Beberapa bibit ikan dari kolam Dominikus dipindahkan ke kolam lain. “Kalau nanti semua berhasil kan akan bagus. Jadi orang bisa makan ikan patin,” lanjutnya.
Akhirnya, Dominikus tidak sendiri memelihara ikan. Dua warga lainnya menjadi teman diskusi dan belajar. Mereka pun saling mengingatkan untuk mengganti air kolam dua kali setiap minggu.


Kemudian melalui anggaran desa, Oktavianus menambah kolam ikan tawar dengan membeli sebanyak 2000 bibit ikan gabus. Ketika bibit ikan itu datang, warga melakukan karantina di kolam yang telah disediakan dari bekas petakan sawah.
Tapi beberapa kemudian, hujan yang mengguyur Mata Kapore dengan lebat selama beberapa hari, menjadikan air kolam penuh, dan bibit itu terlepas ke aliran sungai. “Itu benar kami tidak tahu, kalau ikan gabus bisa menggeliat dan melalui aliran air kecil,” kata Oktavianus.
“Tapi akhirnya kami menerima. Ini proses belajar. Karena memang kami di desa baru pertama kali ini mencoba mengembangkan perikanan.”
Lepasnya bibit ikan gabus itu, rupanya membawa berkah di aliran sungai. Sungai yang sedang sekarat dan berusaha dipulihkan warga itu, kini mulai terlihat beberapa ikan gabus berenang di sela batuan. Semua warga mulai melihat harapan baik di kampungnya. Sejak 2023, aliran sungai benar-benar terjaga. Anak-anak udang kecil juga mulai terlihat. “Kalau ini terus dijaga, pasti sungai akan baik lagi,” kata Dominikus.
“Dulu kalau sudah musim kemarau, untuk dapat ikan dan udang, kami bendung aliran dengan batu atau tanah. Terus buang airnya, tak sampai sejam, ember ember akan penuh dengan udang dan ikan. Mungkin kalau saya tak rasa kembali itu, anak-anak saya akan rasa,” lanjutnya.
