Meracik Harapan di Tanah Karang

Pagi itu, di sisi rumah berdinding kayu sederhana milik Rafia Rumatiga, empat perempuan duduk di atas bale-bale yang terbuat dari papan. Rumah itu berada di Desa Negeri Pulau Panjang, Kecamatan Pulau Panjang, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku.

Mereka tidak sedang bersantai atau berbincang santai, tetapi fokus membelah pepaya matang dan mengeruk daging buahnya. Dua lainnya mengiris tipis-tipis gula merah dengan hati-hati.

Rafia, perempuan kelahiran 1985, kemudian mengambil timbangan digital. Ia menimbang pepaya dan gula merah dengan takaran yang seimbang. Menurutnya, ibu-ibu ini tengah membuat pupuk organik untuk kesuburan akar dan daun tanaman.

“Ukurannya satu banding satu,” kata Rafia dengan suara lantang. “Satu kilogram pepaya, satu kilogram gula merah.”

Selanjutnya, campuran ini kemudian dimasukkan ke dalam toples, ditutup rapat dengan kertas, dan diikat karet untuk mencegah udara masuk. Setelah difermentasi selama tujuh hari, cairan hasil olahan ini menjadi pupuk organik cair yang oleh warga disebut sebagai nutrisi alami.

Pengetahuan ini didapat Rafia dari pelatihan yang diselenggarakan Program BangKIT. Nutrisi ini bisa bertahan hingga satu tahun dan digunakan untuk berbagai tanaman hortikultura seperti cabai, terong, sawi, dan kacang tanah.

Menjelang akhir 2023, ketika proses perencanaan desa dimulai, Rafia Rumatiga bersama 42 orang lainnya mengikuti proses perencanaan desa difasilitasi oleh Yayasan BaKTI melalui Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT). Mereka berkumpul di Kantor Kecamatan Pulau Panjang untuk bersama-sama mengidentifikasi  potensi  yang ada dan bagaimana selama ini mereka bertahan dan mencukupi kebutuhan hidup. Sketsa desa pun menjadi salah satu alat analisis yang mereka gunakan untuk memetakan kondisi desa dan melihat potensi-potensi yang mungkin selama ini luput oleh masyarakat.

Dari sketsa desa inilah, terlihat bahwa Negeri Pulau Panjang memiliki potensi pertanian yang baik. Kelapa, keladi, singkong dan berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur di Pulau Panjang. setelah itu, analisis pun dilanjutkan menggunakan alat analisis kalender musim dan diagram kelembagaan. Dari analisis yang dilakukan, mereka pun merumuskan tujuan untuk meningkatkan hasil pertanian dan pendapatan petani.

Namun untuk mencapai tujuan itu, mereka menghadapi tantangan penyakit dan hama yang menyerang tanaman mereka. Dari situlah usulan masyarakat untuk mengadakan pelatihan pembuatan pupuk organik muncul. Lagi-lagi, Ibu Rafia menjadi salah satu peserta pelatihan yang hingga kini terus bersemangat menjalankan dan membagikan pengetahuan dari hasil pelatihan tersebut.

Yang membuat pupuk ini istimewa bukan hanya bahannya yang mudah didapat – pepaya dan gula merah – tetapi juga penggunaannya yang hemat. Satu sendok makan larutan pupuk cukup untuk dilarutkan ke dalam lima liter air, lalu disemprotkan ke tanaman.

“Katong pakai yang semprot kecil saja, bukan pakai tangki 15 liter, karena sudah air,” kata perempuan 40 tahun ini.

Dari Abu Kayu ke Nutrisi Organik

Pulau Panjang merupakan salah satu kecamatan hasil pemekaran pada Tahun 2011, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Seram Bagian Timur Nomor 11 Tahun 2011. Kala itu, disahkan oleh Bupati pertama Seram Bagian Timur, Abdullah Vanath.

Kecamatan ini terdiri dari enam desa yakni Ruku-Ruku, Perik Basaranggi, Magat, Lalasa, Pulau Panjang, dan Argam. Baru lebih dari satu dekade setelah pemekaran, listrik mulai masuk ke wilayah ini, itupun terbatas dari pukul enam sore hingga pukul enam pagi.

Pulau Panjang terletak di antara Pulau Gorom dan Manawoku, dan hanya bisa diakses dengan menggunakan perahu. Jika menggunakanlong boat bermesin 30 PK maka perjalanan ke Pulau Panjang dapat ditempuh dalam waktu 30 menit dari Pulau Gorom.

Siang itu Rafia sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk mengolah pupuk organik seperti gula merah dan pepaya matang. Rafia bercerita bahwa sebelumnya pepaya hanya dimanfaatkan untuk dimasak saat muda atau dikonsumsi saat matang. Setelah mengikuti pelatihan di Kantor Kecamatan Pulau Panjang pada Tahun 2024, ia dan tiga perempuan lainnya belajar memanfaatkan pepaya untuk pupuk.

Katong (kita) diajarkan bikin nutrisi. Dulu tidak tahu kalau gula merah bisa jadi pupuk,” ujar Fia sapaan Rafia.

Rafia mempelajari beberapa jenis nutrisi organik, untuk menyuburkan tanaman. Misalnya gula merah dicampur dengan jantung pisang, untuk daun tanaman. Kemudian penguatan akar dan batang, yaitu pepaya dicampur dengan gula merah. Dan terakhir, untuk mengatasi hama, gula merah dicampur bawang putih.

Semua bahan dicampur dengan rasio satu banding satu. Namun, untuk berhemat, ia seringkali menggunakan takaran satu kilogram gula merah, dibagi menjadi seperempat kilogram. Karena harga gula merah lumayan mahal yaitu 30 ribu rupiah.

Sebelum mengenal nutrisi organik, ia hanya menggunakan abu kayu bakar untuk memupuk tanaman. Itu sudah digunakan secara turun-temurun dari nenek moyang sampai sekarang. Begitu pula warga yang ada di Pulau Panjang, mayoritas masih menggunakan abu kayu bakar, sebab mereka tidak tahu membuat nutrisi.  Tetapi abu tidak mampu menangkal hama.

Setelah mengenal nutrisi, ia langsung mengaplikasikannya di kebun. Kini, ia menanam cabai, terong, dan kacang, dan menyemprotkan nutrisi setiap 10 hari, sejak awal tanam hingga panen.

“Baru dua kali katong buat nutrisi,” ujarnya. “Selama ini, belum ada yang ajari buat nutrisi, jadi katong semangat”.

Asmia Bugis, kakak dari Rafia, juga mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Program BangKIT. Meski begitu, ia mengaku masih perlu bimbingan saat membuat nutrisi. Karena, Asmia belum mengaplikasikannya ke tanaman di kebunnya. Saat menanam kacang tanpa nutrisi, tanamannya rusak karena diserang hama.

“Waktu saya tanam kacang tidak pakai nutrisi, habis dimakan hama,” kenang Asmia menyesali. “Karena sudah tahu, jadi harus dipakai ilmu ini.”

Sagu dan Singkong Masih Jadi Andalan

Meskipun kini menanam tanaman hortikultura, Rafia menyebut bahwa sagu dan singkong tetap menjadi sumber penghasilan utama masyarakat sekaligus makanan pokok. Satu ikat sagu berisi 20 batang dijual 10 ribu rupiah. Namun proses pengolahannya sangat melelahkan – panen sagu memakan satu hari, memarut dan mengeringkan butuh dua hari, itupun tergantung sinar matahari.

“Biasanya katong bisa bikin lebih dari 20 ikat sehari,” ujarnya.

Setelah dikemas, sagu dimasukkan ke dalam karung, masing-masing berisi 40 ikat. Jika dua karung sagu di bawa ke Pulau Gorom, dia hanya mengangkutnya dengan menggunakan perahu sendiri. Tetapi, bila jumlahnya tiga sampai empat karung atau lebih, barulah ia menyewa speedboat (jonson) dengan biaya 500 ribu rupiah per hari pulang-pergi.

“Harus lebih dari dua karung supaya bisa menutupi biaya sewa,” jelasnya.

Selain sagu, penghasilan tambahan datang dari hasil panen cabai dan terong. Ia menjual cabai seharga 10 ribu rupiah per kaleng susu, dan terong 10 ribu rupiah untuk tujuh buah. Biasanya ia mendapat 50 ribu  – 60 ribu rupiah  dari penjualan terong. Namun, penghasilan ini tidak cukup untuk ditabung karena harus memenuhi kebutuhan harian keluarga.

Apalagi, tanaman hortikultura yang ditanamnya tidak banyak. Hanya sekitar 20 pohon terong saja, menyesuaikan tenaga dirinya dan suami dalam mengelola lahan.

Kalau mau membuka lahan baru maka harus menyewa orang untuk mencungkil batu karang. “Tanah di sini bercampur batu karang, jadi susah olah lahan.”

Dalam satu lahan, ia menanam berbagai tanaman, ada cabai, terong, dan kacang tanah. Jika hasilnya bagus, Rafia merasa bersyukur karena bisa memperoleh tambahan penghasilan. Terong dan cabai baru dipanen bulan lalu. Sementara untuk kangkung dan sawi, ia sudah tidak menanam lagi setelah panen pada lebaran lalu. Alasannya tidak menanam lagi karena tidak ada bibit. Terakhir, bibit yang ia peroleh dari Program BangKIT  – satu kilogram kangkung dan satu kaleng sawi.

“Bantuan bibit hanya dua kali ditanam. Setelah panen terakhir, sudah tidak ada lagi,” kata Fia.

Harapan dan Ketahanan dari Pulau Terpencil

Cerita Rafia dan para perempuan di Pulau Panjang menunjukkan bagaimana pengetahuan baru bisa mengubah cara bertani secara signifikan. Dari hanya menggunakan abu kayu, kini mereka mulai mengenal teknologi sederhana berbasis fermentasi yang ramah lingkungan dan hemat biaya. Pupuk organik cair yang mereka racik dari dapur menjadi kunci untuk meningkatkan produktivitas tanaman, mengurangi kerusakan akibat hama, dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang mahal dan sulit diakses.

Meskipun akses ke air dan listrik terbatas, dan kondisi tanah berbatu membuat bertani menjadi pekerjaan berat, semangat perempuan seperti Rafia dan Asmia tak luntur. Dengan pelatihan sederhana dan dukungan komunitas, mereka berhasil menumbuhkan harapan baru di kebun mereka sendiri.

“Susah memang, tapi kalau tanaman tumbuh subur, katong senang. Bisa jual, bisa makan, dan sedikit-sedikit bisa bantu keluarga,” tutup Rafia.