Perempuan Kilotak dan Inovasi Pangan Lokal

Delapan perempuan tampak mengelilingi oven raksasa sepanjang 150 sentimeter dan lebar 50 sentimeter. Oven ini menutupi dua kompor minyak tanah yang menyala terus-menerus. Di atasnya, tepung sagu putih diaduk tanpa henti dengan tangan selama lebih dari dua jam. Mereka berdiri dengan sabar, menggunakan sarung tangan transparan dan memastikan tepung itu kering merata. Tepung inilah yang akan digunakan untuk membuat kue kering dan basah.

Yulianti Muhammad Yamin, salah satu perempuan pengolah sagu, mengatakan pengetahuan mengolah sagu menjadi tepung baru diketahui warga Kilotak setelah mengikuti pelatihan dari tim Program BangKIT pada Tahun 2024. Sebelumnya, sagu hanya dikonsumsi sebagai makanan pokok dan dijual begitu saja.

Di lokasi itu, masyarakat tidak tahu jika tepung sagu bisa menjadi alternatif pengganti tepung terigu dalam Pembuatan kue. “Dulu katong (kita) belum tahu proses sagu mentah jadi tepung. Setelah masuk program BangKIT, ibu-ibu mulai tahu,” kata Yulianti.

Meski pelatihan sudah selesai, para perempuan tetap rutin berkumpul di kantor desa untuk berbagi pengetahuan dan mengulang resep yang telah diajarkan. Yulianti mengaku butuh beberapa kali percobaan sebelum berhasil membuat kue dari tepung sagu. Awalnya gagal karena takarannya yang tidak pas. Tapi setelah coba terus menerus, akhirnya berhasil.

Beta (saya) belum tahu resepnya, jadi berkali-kali coba baru katong tahu,” ujarnya.

Memberikan Pengetahuan Baru

Sagu sendiri telah lama menjadi makanan pokok di Desa Kilotak, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani sagu. Jumlah penduduk menurut data Badan Pusat Statistik  Maluku Tahun 2024 sebanyak 242 jiwa. Kecamatan Pulau Gorom memiliki topografi berupa dataran dengan luas wilayah mencapai 91,30 km². Namun, pemanfaatan sagu hanya sebatas konsumsi harian dan penjualan dalam bentuk mentah.

Dalam proses perencanaan Desa Kilotak yang pada akhir tahun 2023 didampingi Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT), pohon sagu yang memang melimpah disepakati sebagai sebuah potensi desa untuk dikembangkan. Harapannya, sagu dapat menjadi komoditas yang bernilai ekonomi dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Kilotak.

Pelatihan mengolah sagu kemudian menjadi salah satu usulan dalam rencana pengembangan potensi Desa Kilotak yang didukung oleh Program BangKIT. Pelatihan ini dipercaya dapat membantu masyarakat Kilotak untuk meningkatkan nilai jual sagu yang selama ini selalu dijual mentah dengan harga murah.

Setelah pelatihan pengolahan sagu dengan dukungan Program BangKIT, setidaknya 20 perempuan di desa ini kini mampu mengolah sagu menjadi tepung kemudian membuat aneka kue. Menurut Yulianti, pelatihan ini membuka wawasan baru bagi mereka. Selain lebih hemat, menggunakan sagu juga membantu mengurangi ketergantungan pada bahan pangan dari luar. Apalagi bahan untuk membuat kue kering dan basah.

“Alhamdulillah kurang pengeluaran. Kalau 1 kilogram terigu harganya 14 ribu rupiah, sekarang sudah tahu cara membuat tepung sagu sendiri,” jelasnya.

Irianti Hakim juga menjadi salah satu peserta pelatihan. Ia mengikuti seluruh sesi selama tiga hari pelatihan dalam program BangKIT. Usai pelatihan, Irianti mengaku langsung mempraktikkan saat Ramadan, termasuk membuat brownies dan kue nastar dengan tepung sagu. “Kegagalan pasti ada. Pernah kelebihan gula. Tapi saya sudah coba buat kue kering dan brownies saat buka puasa,” kata dia.

Menurut Irianti, takaran sederhana bisa memudahkan siapa pun mencoba untuk mengolah tepung sagu menjadi kue. Untuk membuat brownies misalnya, dibutuhkan tepung sagunya sebanyak 100 gram dan 750 gram untuk kue nastar. Dengan terbiasanya menggunakan tepung sagu maka bisa mengurangi pengeluaran untuk membeli terigu. Jadi, ibu-ibu hanya perlu membeli bahan lain seperti mentega, telur, dan gula.

Mengolah Sagu Jadi Tepung

Meski membuat kue dari tepung sagu relatif mudah, proses mengubah sagu mentah menjadi tepung yang cukup melelahkan. Yulianti menjelaskan, sagu mentah yang sudah diperas perlu dicuci terlebih dahulu, lalu disaring dari kotoran, dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama 15 menit.

Selanjutnya, sagu dipindahkan ke oven panas dan diaduk terus menerus selama dua hingga tiga jam agar keringnya merata. “Tidak boleh lama dikeringkan di matahari, nanti warnanya jadi kuning,” tutur Yulianti. “Prosesnya itu lebih di oven”.

Oven besar yang digunakan saat ini adalah bantuan dari Program BangKIT, yang disimpan di kantor desa supaya bisa dipakai bersama, terutama saat ada acara atau produksi besar. Bantuan oven itu diberikan setelah ibu-ibu mengajukan permintaan ke tim Program BangKIT.

Senada dengan Yulianti, Irianti mengatakan bahwa mengaduk tepung sagu selama dua hingga tiga jam tidak bisa dilakukan sendiri atau dua orang saja. Jadi, membutuhkan tenaga yang banyak agar keringnya merata. “Seng (tidak)  bisa satu atau dua orang saja. Harus ramai-ramai. Kalau tidak diaduk terus nanti jadi papeda,” katanya sambil tertawa.

Mimpi Memasarkan Produk

Setelah mahir mengolah sagu menjadi kue, harapan besar muncul dari kelompok perempuan di Kilotak. Mereka bermimpi agar produk ini bisa dijual keluar desa. Namun, Yulianti menyebutkan untuk mencapai hal tersebut, diperlukan dukungan dari pemerintah kabupaten, seperti memfasilitasi produk desa dalam pameran UMKM atau membantu promosikan.

“Selama ini hanya tim BangKIT yang bantu. Jadi, kami berterima kasih sekali. Pemerintah belum ada ikut campur,” katanya.

Mereka juga berharap ada tambahan oven agar bisa memproduksi lebih banyak tepung sagu. Oven yang ada saat ini belum mampu mengeringkan tepung sagu dalam skala besar. Misalnya, untuk lima kilogram tepung, harus dikeringkan dua kali di atas oven.

“Kami ingin produksi lebih banyak dan dijual,” tuturnya.  Meskipun Program BangKIT telah selesai, tapi semangat kelompok perempuan ini tetap ingin melanjutkan. Bahkan, mereka ingin produk ini dikembangkan dan jadi pemasukan tambahan bagi perempuan.

Hal senada diungkapkan Irianti. Ia berharap Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dapat membantu memasarkan, sementara ibu-ibu yang bertugas memproduksi. “BUMDes penadahnya, nanti ibu-ibu yang kerja,” ujarnya.

Hubungan dengan Petani

Meskipun mayoritas masyarakat adalah petani sagu, para ibu rumah tangga yang memproduksi tepung tetap harus membeli sagu. Karena, ada warga yang tidak memiliki pohon sagu. Dan ada juga yang punya tapi tak bisa langsung memanen sebab butuh di atas lima tahun baru sagu itu bisa dipanen.

“Kalau katong mau bikin, ya beli dari petani. Seng ada pohon sagu. Beda ibu yang suaminya ada sagunya,” kata Yulianti.

Rustam Kilolow, pria kelahiran 1976, merupakan salah satu petani sagu di Pulau Gorom. Ia telah bekerja sejak kecil, mengikuti jejak orang tuanya. Ia menjelaskan satu pohon sagu bisa menghasilkan 30 sampai 50 tumang. Satu tumang itu beratnya sekitar 5 sampai 6 kilogram. Tumang adalah wadah tradisional yang terbuat dari daun rumbia untuk menyimpan sagu basah yang telah diperas.

“Dulu masih manual, sekarang pakai mesin untuk memarut. Kalau sudah itu diperas pakai kain,” jelas Rustam sembari memeras sagu.

Saat ditemui, Rustam tengah memanen sagu. Batang sagu yang berukuran besar itu telah ia potong kecil-kecil lalu diparut dengan mesin. Setelah itu batang kecil sagu dimasukkan ke dalam karung. Ia memikul karung yang berkapasitas  25 kilogram ke pinggir sungai untuk diperas. Jarak mesin parut dari sungai untuk memeras hanya 10 langkah.

Empat gayung air dituangkan ke dalam sagu, lalu diperas hingga airnya bening. Setelah itu, Rustam membuang ampas sagu di sisi kirinya. Setelah selesai memeras, ia pun mendiamkannya selama tiga menit, kemudian air dibuang dan tepung sagu dikumpulkan.

Dalam sehari, dia mengaku bisa memeras sagu sampai tiga karung, menghasilkan sekitar enam tumang. Harga satu tumang 50 ribu rupiah, sehingga penghasilannya bisa mencapai 300 ribu rupiah per hari.

Menurut Rustam, sagu sangat melimpah di Pulau Gorom. Selain sebagai makanan pokok, sagu juga menjadi sumber kehidupan. Pembeli dari luar sering datang membawa uang jutaan rupiah untuk membeli sagu langsung. Para pembeli ini berasal dari kampung sebelah, mereka langsung datang ke kebun para petani.