
Di sebuah jalan setapak Desa Buan Kataloka, Kecamatan Pulau Gorom, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku, tiga anak sekolah dasar sedang memungut gelas plastik bekas minuman. Mereka memungut limbah itu dengan semangat, lalu membawanya kepada seorang perempuan.
Perempuan yang dimaksud adalah Nuruja Rumatiga, kelahiran Tahun 1982, yang dikenal sebagai sosok penggerak daur ulang sampah plastik di desa mereka.
Setiap gelas plastik yang dikumpulkan, Nuruja akan membersihkannya menggunakan sebaskom air bersih, lalu menjemurnya secara terpisah untuk kemudian diolah kembali. Anak-anak yang membantu mendapatkan bekas minuman plastik itu akan mendapatkan uang jajan, biasanya sekitar 2 ribu hingga 10 ribu rupiah.
“Ini untuk uang jajan,” kata Nuruja pada Sabtu, 17 Mei 2025, sambil tersenyum kepada anak-anak itu.
Limbah plastik yang dipungut memang tidak jauh dari rumah Nuruja—hanya sekitar 100 meter. Sebab, di desa ini belum tersedia tempat sampah yang memadai. Warga masih membuang sampah sembarangan, termasuk limbah plastik.
Namun, kehadiran Nuruja dan beberapa ibu rumah tangga yang tergabung dalam kelompok pengrajin daur ulang memberi harapan baru bagi pengelolaan sampah di desa mereka.
“Anak-anak sangat membantu. Kalau ada mereka bawa, dikasih uang jajan,” ucapnya.

Berkarya di Teras Rumah
Setiap akhir pekan, tujuh perempuan duduk di teras rumah milik Nuruja. Di atas tikar, berjejer bahan-bahan seperti benang wol, gunting, jarum, pisau kecil, serta tumpukan plastik bekas. Mereka bekerja sambil bercerita dan saling menyemangati. Ada yang sedang menggunting, ada yang merajut, ada pula yang mulai menganyam.
Kelompok ini merupakan bagian dari peserta pelatihan yang diadakan oleh Program BangKIT pada 2024. Dalam program tersebut, para ibu dilatih untuk memanfaatkan limbah plastik menjadi berbagai produk kerajinan tangan, mulai dari bunga hias, tas, hingga piring.
Pelatihan yang diikuti oleh Nuruja dan ibu-ibu lainnya di Desa Buan Kataloka ini merupakan upaya peningkatan penghidupan masyarakat yang muncul dari identifikasi masyarakat dalam perencanaan desa mereka. Pada Desember 2023, Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT) memfasilitasi penyusunan perencanaan penghidupan berkelanjutan di beberapa desa di Pulau Gorom, salah satunya adalah Desa Buan Kataloka.
Dari proses yang diskusi panjang masyarakat bersama pemerintah desa dalam menyusun perencanaannya, mereka menemukan potensi yang bisa dikembangkan. disamping itu, ada kebutuhan untuk mengembangkan potensi yang teridentifikasi. Salah satunya adalah pelatihan teknis pengolahan kerajinan dari limbah plastik.
Desa Buan Kataloka yang terletak di Pulau Gorom merupakan salah satu wilayah pesisir. Pada wilayah pesisir, limbah plastik kemasan produk makanan dan minuman dapat mencemari laut dan ekosistemnya sehingga mengancam sumber daya dan penghidupan masyarakat yang bersumber dari laut serta mengurangi nilai estetika lingkungan.

Pengolahan limbah plastik menjadi produk kerajinan selain berkontribusi terhadap upaya tata kelola sampah plastik dan kelestarian sumber daya laut, juga dapat memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat di desa. Karena itu, agar limbah plastik ini bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh masyarakat, mereka memerlukan dukungan pengetahuan dalam pengolahannya. Pelatihan pengolahan kerajinan dari limbah plastik pun menjadi salah satu usulan dalam perencanaan desa yang pelaksanaannya kemudian didukung oleh Program BangKIT.
Mereka juga menerima bantuan berupa bahan-bahan stimulan seperti benang wol berwarna-warni dan alat pendukung lainnya. Sebelum ikut pelatihan, para ibu-ibu ini memang sudah bisa menganyam.
Tetapi masih hanya untuk mengisi waktu saja. Setelah dilatih, sekarang sudah mulai diseriusi karena kerja kelompok. Sudah bisa bikin tas dari bekas wadah plastik minuman kemasan pop ice, piring dari gelas plastik, dan banyak lagi.
Produk mereka bermacam-macam. Dari limbah plastik, mereka membuat tas belanja, tempat minuman, dan piring. Sedangkan dari benang wol, mereka membuat tas kecil untuk tempat air minum (tumbler), tempat menyimpan ponsel, dan sarung korek api. Setiap produk dibuat dengan telaten, meski seringkali waktu mereka tersita oleh pekerjaan rumah tangga.
“Bikin tas atau piring itu sebenarnya tidak susah,” ujar Nuruja. “Tantangannya cuma waktu saja. Kami ini ibu-ibu, kerjaan di rumah banyak.”
Salah satu anggota kelompok, Basege Kalere, mengaku pada awal pelatihan mereka hanya diminta membuat bunga dari limbah plastik. Prosesnya dimulai dari membersihkan sampah plastik dan mengeringkannya satu persatu.

Selanjutnya, menganyam atau membentuk sesuai desain yang diajarkan. Menurut Basege, ibu-ibu di desa mereka sebenarnya sudah punya kemampuan dasar, hanya butuh diarahkan dan dikelola secara kelompok.
“Bikin bunga dan tas itu tidak sulit. Bisa semua ibu-ibu,” kata kata Basege, perempuan 39 tahun itu.
Sayangnya, para ibu-ibu ini masih sulit untuk fokus dalam memproduksi. Karena, banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Misalnya, mengurusi anak, memasak, membersihkan rumah—itu semuanya tetap menjadi tanggung jawab utama. Namun, semangat mereka untuk tetap berkarya tak pernah surut.
Produk Mulai Dipasarkan
Buan Kataloka adalah desa kecil dengan penduduk sekitar 645 jiwa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Tahun 2024, terdiri dari 316 perempuan dan 329 laki-laki. Meski terletak di wilayah kepulauan dan harus menempuh 11 jam naik kapal feri dari ibu kota kabupaten yakni Kecamatan Bula, semangat perempuan desa ini tak pernah luntur.
Saat ini, mereka mengandalkan bahan baku dari sampah yang paling banyak tersedia, seperti bungkus pop ice dan sabun cuci. Sampah-sampah ini yang kemudian disulap menjadi produk bernilai ekonomis. Misalnya, tas belanja dan keranjang dijual seharga 50 ribu hingga 75 ribu rupiah. Sementara piring dari gelas ale-ale dijual 60 ribu rupiah per lusin.
“Satu tas sudah ada yang beli,” ucap Nuruja bangga.
Kerajinan dari benang wol yang tak kalah laris. Bahkan banyak warga setempat yang membelinya. Seperti tas tempat minum dijual 50 ribu rupiah, tempat ponsel 25 ribu rupiah, tali masker dan sarung korek api masing-masing 15 ribu rupiah. Karena ini kerja kelompok maka hasil penjualan pun masuk ke kas, yang nantinya bakal diperuntukkan membeli bahan-bahan jika stok habis.
“Ibu-ibu posting di media sosial. Banyak yang minat, terutama tas ponsel dan korek api,” tambah Nuruja.
Nuruja berkata, dalam sehari, ia bisa menyelesaikan dua tas ponsel, tiga sarung korek api, dan satu tempat air minum. Bahkan dia juga pernah membuat dan menjual sendiri hasil kerajinannya, dengan bantuan teman yang tinggal di Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil penjualan tas ponsel seharga 25 ribu rupiah itu, dia sisihkan 10 ribu rupiah untuk ditabung, dan 15 ribu rupiah untuk kebutuhan rumah tangga.
“Lumayan membantu suami,” ujarnya.

Tantangan Mengatur Waktu
Meski semangat berkarya tinggi, tantangan terbesar kelompok ini adalah membagi waktu antara produksi dan kewajiban rumah tangga. Basege Kalere misalnya, dia mampu membuat empat tas ponsel dalam sehari. Namun, karena susahnya membagi waktu antara keluarga dan membuat kerajinan maka ia jarang bisa menyelesaikan produk.
“Banyak kerjaan rumah. Harus urus anak dan rumah tangga juga,” ucap Basege.
Masalah lain adalah keterbatasan bahan seperti sampah minuman gelas plastik. Karena, mayoritas bahan bakunya dari situ. Ketika bahan sulit otomatis ia tak bisa memenuhi kebutuhan konsumen. Selain itu, keterlibatan pemerintah setempat masih minim. Kelompok ibu-ibu ini merasa belum mendapat dukungan lanjutan untuk pengembangan usaha daur ulang sampah.
Nuruja mengatakan, kerajinan ini dikerjakan secara kolektif. Semua hasil penjualan masuk ke kas kelompok. Namun, jika ibu-ibu mengerjakan sendiri di luar pertemuan kelompok, maka hasilnya masuk ke kas pribadi.
“Kalau dalam kelompok, hasilnya untuk bersama. Tapi kalau kita buat dan jual sendiri, itu ke kas pribadi,” jelasnya.
Saat ini, pesanan cukup banyak. Bahkan ada permintaan dari luar desa untuk produk kerajinan seperti piring dan tas. Namun, keterbatasan waktu dan tenaga membuat mereka belum bisa memenuhi seluruh pesanan itu.
“Kalau ada waktu, kita kerja. Tapi kadang tidak sempat,” kata Nuruja. Meski begitu, ia bersama ibu-ibu lainnya tetap akan melanjutkan meskipun program BangKIT sudah selesai.
Kini, kelompok ibu-ibu pengrajin di Buan Kataloka masih aktif berproduksi meski tanpa dukungan pemerintah setempat. Mereka ingin keterampilannya terus berkembang dan memberi dampak ekonomi bagi keluarga. Oleh karena itu, ia sangat berharap ada perhatian dari pemerintah desa atau kabupaten supaya mendukung peralatan, pemasaran, hingga pelatihan lanjutan.
Satu hal yang pasti, gerakan kecil yang mereka bangun telah berdampak besar. Tidak hanya mengurangi sampah plastik di desa, tapi juga membuka peluang ekonomi baru di tengah keterbatasan.
“Kami mau tetap lanjut,” tutup Nuruja. “Selama masih ada plastik bekas, pasti ada yang bisa kami kerjakan.”