
Buru Deilo adalah sebuah desa kecil yang terletak di pedalaman wilayah Wewena Selatan, Sumba Barat Daya. Untuk mencapainya, dibutuhkan perjalanan selama 1 jam menggunakan roda empat dari Tambolaka. Jalannya meliuk kecil dengan aspal yang sudah rusak, serta batuan lepas.
Siang itu, anak-anak Sekolah Dasar ramai berlarian ke sana ke mari. Suara mereka riuh rendah. Beberapa siswa tampak penasaran, saat melihat orang-orang berkunjung untuk keperluan melihat atau membeli VCO serta minyak serai, atau juga jamu temulawak di rumah milik Ibu Theresia Gheda Malo.
Ibu Theresia adalah orang tua tunggal yang dengan sukarela menjadikan rumahnya tempat berkumpul dan belajar bersama ibu-ibu desa. “Selamat pagi. Mari masuk,” katanya.
Sapaan salam sesuai waktu menjadi kebiasaan orang-orang di wilayah timur Indonesia. Ini adalah sapaan ramah yang terucap bukan sekedar basa-basi. Jika berkunjung ke wilayah ini, Anda akan menemukannya dan membuat hati terasa hangat.
“Rumah kumpul mamak-mamak,” kata Theresia.
Lalu mereka tertawa bersama. Rumah mamak-mamak adalah frasa yang menggambarkan kelompok mereka. Namanya UKM Immanuel yang beranggotakan tujuh orang perempuan desa. “Mari-mari, mau coba jamu kah?,” kata Agustina Wini Bali anggota kelompok.
Agustina bangga dengan hasil kerja mereka secara bersama. Dia memamerkan botol VCO atau Virgin Coconut Oil atau minyak kelapa murni yang diekstrak dari daging kelapa segar. Anggota lain juga memperlihatkan bungkusan jamu serta minyak jahe.
“Dulu kami tidak pikir, kalau kelapa bisa buat begini. Dulu kelapa hanya untuk santan dan minyak goreng,” kata Alfiana Bela Sairo anggota lainnya.
Tujuh perempuan itu penuh semangat. Lalu memperlihatkan blender, mesin parut kelapa, serta alat press kemasan, yang sudah mereka beli dari hasil jualan produk. Kelompok ini perlahan menemukan ritme kerja dan semangatnya. Mereka berkumpul setiap waktu. Namun secara intens setiap pekan untuk melakukan produksi.
“Banyak orang bilang, kalau perempuan kumpul itu hanya cerita dan gossip. Ini kami mau kasi liat, kalau kami juga bisa buat hal baik di desa,” kata Alfiana.

Belajar dari pengalaman
Theresia adalah ketua kelompok UKM Immanuel. Sebelum aktif bersama ibu-ibu lainnya, dia aktif di gereja dan juga membuat usaha rumahan jamu temu lawak dan sari jahe.
Tapi usaha itu, belum rapi secara administrasi. Hasil olahan masa itu biasanya dititipkan ke beberapa orang untuk jualan atau pula warung. “Jadi tidak semua bisa dilihat dan mengontrol hasil jualan. Jadinya ada yang lupa dicatat,” katanya.
Akhirnya ketika sebuah organisasi nirlaba, Yayasan BaKTI melalui Program Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT) menyambangi desa, Theresia menjadi begitu semangat.
Program BangKIT memulai kegiatannya pada tahun 2023 dan melakukan pendampingan dalam perencanaan pembangunan desa. Program ini menyasar pengetahuan dan pengenalan diri masyarakat untuk mengenali potensi dan kelemahan yang bisa diminimalisir.
BangKIT pada dasarnya ingin mencari tahu bagaimana program pembangunan desa menjadi lebih tepat pada kebutuhan warga yang inklusif agar dapat menjangkau semua lapisan. Terutama pada penduduk miskin.
Theresia ingat betul, beberapa pertemuan dan pelatihan yang diikutinya, membuka pengetahuannya dan mulai dengan sadar menelisik kelemahannya. “Jadi kalau ingin mandiri (berdaya), sebaiknya jangan sendiri. Harus berkelompok agar sukses banyak orang,” katanya.


Pada Juni 2024, UKM Immanuel terbentuk. “Sudah setahun, kami masih terus bersama dan semakin baik,” lanjutnya.
Pendampingan yang dilakukan oleh tim BangKIT dalam membuat pembukuan membuat transparansi kelompok makin baik. “Kami menjadi saling percaya dan terbuka. Ini mungkin yang membuat kami terus bersama,” kata Theresia.
Anggota UKM Immanuel ingat betul pertama kali mereka memulai usahanya. Masing-masing anggota urunan uang untuk membeli bahan dasar. Modalnya adalah 36 ribu rupiah. Bahan tanaman lain kemudian diambil di kebun masing-masing anggota secara gratis.
Ketika mereka berhasil, produksi kedua pun bertambah menjadi 100 ribu rupiah. Hasilnya mereka jual di desa sendiri. Tapi saat ini, sekali produksi modalnya sudah mencapai 500 ribu rupiah. Dan penjualannya pun sudah merambah dunia internet.
Theresia menampilkan produksi kelompok itu di Facebook. Yang membuat pesanan setiap bulan selalu ada. Akhirnya pemesan melalui aplikasi Facebook dan kontak yang diberikan di informasi kemasan produk.
Sementara pengantaran di sekitar wilayah desa dan kabupaten yang bisa dijangkau dengan kendaraan membuat kelompok akhirnya membeli motor bebek. “Motor jadi memudahkan. Anak saya yang laki-laki akan antar kalau tempatnya jauh dan jalannya rusak,” kata Theresia.
Sebelum memiliki motor, beberapa pesanan biasa menjadi batal karena hujan dan pemesan jauh. Dan tidak mungkin membawanya dengan berjalan kaki.
Kini produksi kelompok setiap bulan sudah mencapai 50 botol VCO yang dijual 15 ribu rupiah. Minyak sereh 25 ribu rupiah per botol. Lalu produksi jamu mencapai 100 bungkus per bulan. Dimana masing-masing temulawak dijual 15 ribu rupiah per bungkus serta sari jahe 15 ribu rupiah per bungkus.
Kesadaran mereka akhirnya tumbuh bersama. Dari hasil usaha itu, mereka membeli celemek, sarung tangan, dan penutup kepala. Mereka memeras kelapa dengan tangan yang bersih. “Kami bilang ke orang-orang yang beli, kalau cara buatnya dengan bersih,” kata Rosalina Soli Lombo, anggota lainnya.


“Kami pakai tutup kepala, biar tidak ada rambut jatuh. Dan sebelum kami buat produk itu, kami bersihkan dulu lantai dan semua peralatan,” lanjutnya.
Rosalina penuh kebanggaan membeberkan usaha produksi ini. “Dari usaha ini kami sudah sebagai perempuan akhirnya punya penghasilan juga. Untuk kebutuhan dapur yang kecil-kecil,” katanya.
Integrasi Usaha dan Kebun
Jika bahan baku produksi UKM Immanuel awalnya mengambil dan meminta anggota kelompok dengan sukarela, kini mereka membelinya di masyarakat. Kelapa, jahe, kunyit, temu lawak dan jahe.
Kelompok membeli bahan-bahan itu dengan harga pasar. Tapi anggota kelompok, sudah mulai merencanakan pengembangan kebun sendiri untuk menanam kebutuhan produksi. Tujuh orang anggota kelompok ini pada dasarnya adalah perempuan petani. “Kami tahu cara tanam. Kami berkebun. Jadi pelan-pelan kami mau ada kebun sendiri,” kata Martha Bulu anggota lainnya.

Martha senang sekali menjadi bagian kelompok. Ini membuka pengetahuan dan keberaniannya, jika ternyata bahan-bahan pangan yang ada di sekitarnya dapat diolah menjadi lebih baik dan memiliki nilai ekonomi.
Bagi Theresia, sumber alam di Buru Deilo sangat baik. Dia percaya semua orang bisa melakukan usaha kecil rumahan, hanya dibutuhkan ketekunan dan semangat. Peluang-peluang itu terbuka dengan lebar.
Buah pisang misalnya, kata Theresia, oleh warga hanya dikonsumsi seadanya. Direbus atau digoreng atau dimakan mentah. Namun, jika diolah akan menghasilkan nilai lebih. Dia mengatakan, satu tandan pisang di pasar bisa dijual seharga 50 ribu rupiah. Tapi jika dijadikan kripik akan minimal akan berlipat menjadi 100 ribu rupiah dan lebih tahan lama.
UKM Immanuel baru saja mendapatkan izin Pangan Industri Rumah tangga (PIRT) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya. Ini adalah izin edar kelayakan yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan untuk produk makanan dan minuman. Izin ini menjadi jaminan standar keamanan pangan dan layak produk.

